Digitalisasi Tak Bikin Orang Desa Gigit Jari

Gedung Telkom Indonesia.
Sumber :
  • www.telkom.co.id

VIVA – Digitalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mulai marak di Indonesia. Namun, kerap terkendala situasi dan sumber daya. Jika di kota mudah menemukan lulusan sarjana, tapi tidak dengan di desa. Sebab, rata-rata lulusan SD-SMP.

Bertemu Tony Blair, Menko Airlangga Bahas Inklusivitas Keuangan Hingga Stabilitas Geopolitik

Oleh karena itu masyarakat desa harus terus diedukasi dan diajak untuk berubah kebiasaannya, terutama menggunakan aplikasi digital. Hadirnya Smart Village Nusantara (SVN) milik Telkom Indonesia, melalui aplikasi Simpeldesa, membantu BUMDes untuk menambah pendapatan warga desa.

Aplikasi Simpeldesa juga membuka peluang penambahan pendapatan warga desa yang menekuni usaha mikro dan kecil (UMK). Khususnya, dalam penyedian jasa pembayaran mulai dari listrik token hingga pulsa telepon.

Lindungi Diri Lewat Aplikasi

Menurut Kepala Eksekutif Simpeldesa, Reno Sundara, sejak pertama diluncurkan September 2019, aplikasinya terus menuai respons positif. Total pemerintah desa yang sudah menggunakannya mendekati 300 lokasi, sehingga target pengguna 1.000 desa sampai akhir tahun ini diprediksi tercapai.

"Poinnya adalah aplikasi ini tidak membuat orang desa gigit jari. Kalau ada pembayaran-pembayaran artinya ada kas yang masuk ke desa. Nantinya, balik ke warga dalam bentuk pembangunan. Itu baru dari sisi smart economy. Belum manfaat smart goverment dan smart society," kata dia, Senin, 23 Agustus 2021.

Aplikasi Ini Bikin 'Happy'

Reno juga mengaku, Simpeldesa yang berbasis konsep digitalisasi pemberdayaan serta bagi hasil, ini semakin berdampak setelah disokong program SVN Telkom Indonesia dari Divisi DxB (Digital neXt Business), DGS (Divisi Goverment Service), dan Witel se-Indonesia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari 83.931 desa di seluruh Indonesia, sebanyak 69.184 desa produsen sayur dan buah yang dibudiyakan (agrikultur), 20.032 desa memiliki lahan persawahan, 3.112 desa adalah pemasok perikanan, serta 336 desa merupakan pemasok komoditas peternakan.

Lalu, 1.902 dari 83.831 desa di Tanah Air merupakan desa wisata. "Kekayaan setiap desa yang sedemikian tinggi, namun masyarakatnya tidak seiring dengan kualitas kehidupan. Jadi, digitalisasi menjadi sebuah kebutuhan," ungkap Reno.

Senada, Giyatno, selaku direktur BUMDes untuk Sambimulyo di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, mengatakan, pengelolaan obyek wisata Tebing Breksi menjadi lebih mudah setelah menggunakan eLok (Elektronik Loket) yang disokong program Smart Village Nusantara (SVN) Telkom Indonesia.

"Sebelumnya kami hitung semua pemasukan manual, tapi itu merepotkan. Setelah gunakan eLok, berapa pemasukan tiket harian keliatan langsung, berapa dari parkir bisa dicek di dashboard, sehingga transparansi langsung tercipta," tuturnya.

Hal ini sangat penting. Sebab, pendapatan asli desa (PAD) dari obyek wisata di desanya sudah cukup signifikan. PAD 2019 mencapai Rp1,2 miliar per tahun, padahal desa ini sebelumnya masuk desa miskin mengacu data BPS 2010 dengan pendapatan Rp10 juta per tahun.

"Digitalisasi jadi kebutuhan karena segalanya tercatat rapih dan mudah dicek. Kendala utamanya, ya, masih akibat pandemi karena tempat wisata belum bisa buka, sehingga pendapatan tahun lalu turun ke Rp400 juta dan tahun ini malah belum sampai Rp200 juta dari Januari sampai Agustus," papar Giyatno.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya