NFT dan Metaverse Saling Berkaitan Erat

Non-fungible token (NFT).
Sumber :
  • Indiatimes.com

VIVA – Memahami suatu teknologi baru tidak selalu membutuhkan penjelasan yang rumit, termasuk saat ingin mengerti apa itu NFT atau non-fungible token. Fenomena NFT memang lagi populer.

Dari sekian banyak literatur yang mencoba untuk menjelaskan NFT, mungkin pendekatan secara filsafat bisa dimengerti, NFT punya korelasi kuat dengan sifat alamiah seorang manusia, yaitu keinginan untuk memiliki sesuatu.

Kelahiran NFT awal mulanya karena pengembangan dari inovasi teknologi Blockchain. Namun, bila ditarik mundur jauh sebelum itu, bahkan saat manusia purba, cara untuk bertahan selain mencari makan ada prioritas lainnya, yakni memiliki teritori dengan melabelinya sebagai tanda bahwa itu adalah miliknya.

Dalam evolusi manusia berikutnya, di masa modern, banyak inovasi yang bisa menemukan mana sesuatu yang dimiliki oleh tiap manusia.

Sampai-sampai muncul kepemerintahan di suatu teritori yang menciptakan mata uang untuk bertransaksi, demi menentukan barang apa milik siapa.

"Kenapa NFT exist karena manusia pada dasarnya ingin memiliki sesuatu. Ini memang sifat dasar manusia yang ingin memiliki. Itu paling fundamental. Jadi, ini bukan soal teknologi tapi lebih ke sosial, sehingga wajar NFT exist dan ke depannya akan jadi bagian dari setiap lini kehidupan manusia," kata CEO Kolektibel, Pungkas Riandika, seperti dikutip dari Dailysocial, Kamis, 10 Februari 2022.

Dengan pemahaman mendasar seperti ini, artinya tidak perlu repot mendalami teknologi Blockchain dan turunannya.

Bila dicontohkan lagi, kelas ekonomi ke atas misalnya, di mana mayoritas orang-orang memiliki sesuatu yang bersifat non-fungible, alias berharga yang memiliki nilai emosi yang tidak bisa dihargai dengan uang.

"Itu adalah NFT," jelas Riandika. Berikutnya, untuk strategi pemasaran yang ingin melekatkan unsur non-fungible juga bisa diterapkan. Seperti yang dilakukan oleh IKEA saat menjual perabotan rumah tangga yang sebenarnya itu adalah barang fungible.

Mereka memanfaatkan kursi yang dibuat oleh desainer dari Swedia sebagai strategi branding untuk membuatnya lebih berharga dan langka daripada kursi yang dibuat oleh orang lain.

"Strategi branding mereka sukses membuat para pembeli harus segera memilikinya. Jadi, strategi (dengan konsep NFT) sudah ada sejak dulu. Sampai akhirnya, muncul dalam teknologi Blockchain, melahirkan OpenSea dan sebagainya. Kami percaya dan memfokuskan diri mengembangkan Kolektibel sebagai e-commerce NFT untuk kehidupan sehari-hari," ungkapnya.

Oleh karena itu, dalam praktik Kolektibel yang ingin meramahkan NFT, Riandika menganut konsep decentralized finance (DeFi) yang menggunakan mata uang fiat untuk bertransaksi NFT. Dengan kata lain, dengan mata uang yang berlaku di negara tersebut, para pengguna dapat bertransaksi NFT.

Bahkan, perusahaan terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

Perlahan tapi pasti NFT akan dibuat menjadi lebih mainstream, ditandai dengan beragamnya perusahaan dari berbagai vertikal, termasuk ritel barang mewah, terjun ke sana.

Tujuannya bukan untuk memperkenalkan NFT, tapi karena sudah menganggap NFT sebagai status diri, sebuah identitas diri digital. NFT-NFT yang dibeli, lalu dikumpulkan, itulah yang membuatnya menjadi status diri siapa pemiliknya.

Orang-orang bisa mengidentifikasi seseorang saat melihat koleksi NFT, hal ini sebenarnya sudah terjadi di dunia fisik. Menilai pribadi orang dari koleksi dan kesukaannya terhadap sesuatu karena unik dan punya memori yang tidak bisa dinilai dengan uang.

"NFT itu bukan mata uang. Sama seperti di dunia sebenarnya. Orang yang punya uang apa iya dipamerkan uangnya? Pasti yang diperlihatkan adalah tasnya merek apa, sepatunya merek apa, itulah fungsi NFT nantinya. Bisakah hidup tanpa brand? Sepertinya susah karena manusia itu butuh pamer. Itu sudah jadi sifat dasar," papar Riandika.

Maka dari itu, NFT berkaitan erat dengan metaverse. Di dalam dunia metaverse akan menjadi dunia tersendiri yang memiliki koleksi digital sendiri, dari ujung kaki hingga rambut yang melekat di avatar tersebut. Di dalam dunia tersebut, avatar dapat memiliki dunia bertemu dengan orang dari belahan manapun dan melakukan berbagai aktivitas.

Bahkan, dalam pemahaman yang lebih futuristik, mengutip dari Michio Kaku, fisikawan teoritis dan penulis buku, yang mencoba berspekulasi tentang apa yang akan terjadi di 2050.

Dalam salah satu kutipannya, ia mengatakan bahwa pada masa depan setiap manusia akan memiliki digital immortality. Artinya, manusia dapat tetap hidup selamanya dengan adanya identitas digitalnya, meski jiwa dan raganya sudah tiada.

Michio juga menjelaskan, meskipun seseorang sudah meninggal dunia secara fisik, tapi orang tetap bisa merasakan kehadirannya secara digital, yang didukung oleh melesatnya inovasi di bidang neurosains dan kecerdasan buatan (AI).

Dalam pandangannya untuk jangka waktu lebih jauh, 10 ribu tahun lagi warga Bumi akan pindah ke planet lain.

Segera Hadir Fitur Baru untuk Pengguna Mobil Listrik

“Itulah mengapa Jeff Bezos, Elon Musk berlomba-lomba ke luar angkasa dalam rangka menyiapkan sekoci penyelamat pada saat perubahan iklim tidak bisa dibendung lagi. Jawabannya dengan memindahkan ke planet terdekat. Ini ada hubungannya dengan digital immortality,” tutur Riandika.

Ilustrasi pergerakan manusia/seseorang beraktifitas.

Pendingin Udara Ini Bisa Mendeteksi Pergerakan Manusia

Sensor 'Intelligent Eye' mampu bekerja mendeteksi pergerakan manusia dalam ruangan.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024