Sikap Tegas soal BPA

BPA (Bisphenol A).
Sumber :
  • Jordi Labs

VIVA – Para pakar menyampaikan bahwa secara sainstifik bahwa Bisfenol A (BPA) yang ada dalam kemasan galon berbahan Polycarbonat (PC) belum menunjukkan tanda-tanda yang bisa membayakan kesehatan manusia.

Gak Perlu Obat, Tekan Sejumlah Titik Ini agar Tak Mabuk saat Mudik

Hal itu disebabkan ikatan polimernya yang sangat kuat dan cenderung tidak larut air serta bahannya tahan panas. Selain itu, produk galon guna ulang juga sudah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung Akhmad Zainal Abidin menjelaskan bahwa dari sisi ilmiah semua zat kimia yang menjadi prekursor pembuat kemasan plastik itu berbahaya. Tidak hanya BPA, zat-zat prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET ((polyethylene terephthalate) juga sama-sama berbahayanya.

Terkontaminasi Alga Berbahaya, Malaysia Minta Warganya Setop Konsumsi Kerang

Etilena glikol yang menjadi salah satu prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET atau sekali pakai itu sangat beracun dan bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung dan ginjal, serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani.

"Tapi kalau dalam bentuk polimer, di mana zat-zat kimia yang menjadi prekursor bahan pembuat botol atau galon plastik itu beraksi secara kimia sehingga membentuk polimer PC dan PET itu jadi tidak berbahaya. Yang penting, tetap dijaga agar polimer tidak terurai kembali menjadi bentuk prekursor. Karenanya, kemasan-kemasan itu ada pengawasannya," kata dia, Minggu, 26 Juni 2022.

WhatsApp Web dan HP Android Punya 'Ikatan Batin'

Zainal juga menegaskan, jangankan plastik, obat saja juga terbuat dari zat-zat kimia yang berbahaya. Itulah sebabnya kalau obat itu digunakan sesuai takarannya menjadi bagus, tapi kalau berlebihan obat itu malah bisa membunuh.

"Jadi, menurut saya, masyarakat harus dikasih pengetahuan yang lengkap supaya tidak lagi takut lagi menggunakan kemasan pangan plastik yang sudah mendapat izin BPOM, sehingga hidup ini menjadi nyaman," tuturnya.

Sementara itu, Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Ahmad Sulaeman mengatakan jika sudah memiliki sertifikat SNI, maka galon isi ulang berbahan polikarbonat itu sudah dijamin keamanannya.

Menurut dia, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) hingga kini juga masih terus mengkaji batas paparan aman asupan harian BPA yang dapat ditoleransi tubuh manusia (Tolerable Daily Intake/TDI).

"Di EFSA saja (itu dilakukan) sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Mereka melakukannya sejak tahun 2007, dan sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan masih terus me-review. Mereka masih mewacanakan untuk mengubah TDI di sana," jelas Ahmad.

Ia mengatakan peraturan yang ada di Indonesa mengijinkan keberadaan BPA di dalam kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan dan menjadi cemaran pada pangan.

Menurutnya, batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dalam semua jenis kemasan pangan itu telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM No.20/2019. Contohnya, BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glokol, dietilen glikol pada PET.

Ahmad bilang batas masksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya. Contohnya Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj), bahkan Amerika Serikat (AS) tidak ada batas spesifik migrasinya.

"Jadi, sampai saat ini, tidak ada satu pun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA termasuk kepada produsen air minum dalam kemasan," jelas dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya