Hacker Jahat Harus Disikat

Ilustrasi bisnis dan hacker.
Sumber :
  • Techreleased

VIVA Tekno – Di Indonesia pengguna teknologi internet telah mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk, atau sekitar 175,4 juta jiwa.

Jumlah pengguna internet ini mengalami pertumbuhan sebesar 17 persen dibandingkan jumlah pengguna internet pada tahun sebelumnya.

Masyarakat Indonesia menggunakan teknologi internet untuk berbagai macam transaksi, baik untuk kepentingan bisnis dan transaksi elektronik.

Salah satu masalah paling mendasar yang saat ini dihadapi oleh transaksi internet/transaksi elektronik adalah masalah keamanan sistem informasi dan perlindungan terhadap data pribadi.

Berbagai faktor berkontribusi di dalam besarnya tingkat ketidakpercayaan pengguna internet dalam transaksi e-commerce, salah satu penyebab tertinggi adalah kejahatan siber.

Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), diketahui ada lebih dari 700 juta serangan siber yang terjadi di Indonesia pada tahun ini.

Peretasan.

Photo :
  • Medium

Baru-baru ini juga terjadi kebocoran data registrasi kartu SIM, di samping insiden-insiden besar sebelumnya yang melibatkan data kesehatan e-HAC, data Kementerian, BUMN, hingga data pelanggan di e-commerce ternama. Di samping itu pula Indonesia mengalami kekurangan tenaga ahli keamanan siber.

Website Diretas Promosi Judi Online, Kemenko Ekonomi Pastikan Data Aman

Survei yang dilakukan oleh SecLab BDO Indonesia terhadap talenta teknologi informasi atau TI di Indonesia mengungkap bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi memilih untuk menjadi developer perangkat lunak, dan hanya 1 dari 10 yang berminat untuk mendalami keamanan siber.

Kekurangan tenaga ahli ini dipadukan dengan wawasan masyarakat awam yang rendah mengenai keamanan siber pribadi, membuat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi para hacker atau peretas.

Serangan Hacker ke Perangkat Seluler Makin Ngeri, Lewat Iklan Pop-up

"Individu bisa dirugikan karena kebocoran data, contohnya data disalahgunakan ketika apply kredit atau tidak bisa mendaftar pelayanan publik karena data diindikasikan terkait penipuan. Bisnis dan lembaga pemerintahan juga dirugikan karena reputasi mereka tercoreng," kata Harry Adinanta, Cyber Security Director SecLab BDO Indonesia di Jakarta, Jumat, 30 September 2022.

Ia melanjutkan, adanya insiden kebocoran data semacam ini juga merupakan ancaman terhadap keamanan nasional, karena data yang ada bisa disalahgunakan untuk melihat berbagai jenis profil penduduk, hingga lokasi, usia dan persebaran keluarga di daerah tertentu, yang akan berbahaya jika jatuh ke tangan pihak yang memiliki niat jahat.

Anak-anak Dalam Bahaya

Pemerintah Indonesia sudah melakukan perbaikan, misalnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru saja disahkan, dan butuh waktu sampai negara bisa mencapai tingkat kematangan pertahanan siber.

Namun, pesatnya perkembangan teknologi, membuat kejahatan siber lebih gencar dan cepat dibanding berbagai perbaikan. Salah satu akar masalahnya adalah ketersediaan tenaga ahli, di mana menurutnya, banyak organisasi yang tidak paham dan akhirnya menomorduakan cybersecurity.

"Di sini BDO berkomitmen untuk mengembangkan talenta di bidang keamanan siber dan juga berkolaborasi dengan banyak pihak. Sekarang sudah saatnya kita berbenah keamanan siber," ungkap Harry.

Pada kesempatan yang sama, Keith Douglas Trippie, Senior Cyber Security and Data Privacy Advisor BDO, menyebut serangan siber seringkali didasari motif finansial, sehingga institusi perbankan paling sering menjadi sasaran. Namun demikian, ada banyak kasus keamanan siber global lain dengan motif yang berbeda.

Ia mencontohkan state sponsored attack terhadap SolarWinds, atau serangan rantai pasok yang menghantam Quanta, perusahaan yang menyuplai produk ke Apple, bahkan sasaran industrial negara dan sangat penting seperti Colonial Pipeline di Amerika Serikat (AS).

"Dampak kerugian akibat serangan siber global diperkirakan mencapai US$2 ribu triliun di awal tahun ini. Angka tersebut melonjak US$400 miliar dari tahun 2015. Kerugian dari ransomware saja bisa mencapai US$265 miliar pada tahun 2031. Jadi, sudah saatnya perusahaan di Indonesia memperkokoh ketahanan sibernya," tegas Keith.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya