Cuci Gudang yang Bikin Bumi Meriang

Planet Bumi.
Sumber :
  • dw

VIVA Digital – Setiap menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru, para pengecer di seluruh dunia rutin memangkas harga barang dagangan. Konsumen pun histeris. Fenomena diskon besar-besaran ini memang murah di kantong, tapi mahal bagi Bumi.

Edi Purwanto Paparkan Kinerja DPRD Jambi di Hadapan Wakil Konsul AS

Musim berburu barang murah di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) dimulai. Setiap tahunnya, menjelang akhir November, para pengecer membombardir calon konsumen dengan beragam promosi diskon besar-besaran.

Mereka berharap bisa menghabiskan sisa stok barang di gudang sebelum Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Di AS saja dech misalnya.

Penampakan 'Before-After' Jembatan di Baltimore AS yang Runtuh Ditabrak Kapal

Negara asal tradisi cuci gudang yang disebut Black Friday ini mengeksploitasi atas kegilaan massa berbelanja yang bisa menghasilkan keuntungan hingga miliaran dolar AS hanya dalam satu hari.

Dalam beberapa tahun terakhir, tren ini juga menjangkiti banyak negara lain. Konsumen seolah dimanjakan dengan produk yang didiskon besar-besaran. Namun, lingkungan harus ikut membayar mahal demi kesenangan.

4 Negara Eropa Ini Bersumpah Siap Akui Palestina sebagai Negara Merdeka, Ini Alasannya

Diskon belanja.

Photo :
  • U-Report

"Black Friday adalah tren yang sangat mengkhawatirkan. Konsumsi semua bahan itu memiliki dampak lingkungan yang sangat besar. Tidak hanya dalam hal polusi yang dihasilkan selama penambangan dan pengurasan sumber daya alam (SDA) untuk membuat barang-barang yang dibeli, tapi juga dalam hal emisi karbon yang dihasilkan dari transportasi," kata Phil Purnell, guru besar School of Civil Engineering di Universitas Leeds, Inggris, seperti dikutip dari situs, Deutsche Welle, Minggu, 27 November 2022.

Peningkatan jumlah belanja saat Black Friday juga terjadi secara online, ditambah lagi dengan adanya hari khusus seperti Cyber Monday yang dirancang untuk memperpanjang histeria konsumerisme massa ini.

Sebab, membeli secara online perlu adanya pengiriman paket, jejak emisi karbonnya pun jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan berbelanja di toko lokal. Sektor transportasi global saat ini menyumbang hingga 4 persen dari emisi karbon dunia.

Parlemen Uni Eropa memperkirakan bahwa emisi hanya dari industri maritim global dapat meningkat hingga 17 persen pada 2050.

Fasilitas gratis ongkos kirim dan gratis pengembalian yang biasa diberlakukan saat Black Friday dan Hari Raya Natal, juga ikut memperparah besaran jejak emisi karbon.

Ilustrasi emisi gas rumah kaca.

Photo :
  • Pixabay

"Penelitian kami menunjukkan bahwa 400 ribu ton karbondioksisa (CO2) dapat dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat transportasi untuk Black Friday di Inggris pada tahun ini saja," tegas Purnell.

Laporan pada 2021 oleh situs perbandingan harga Inggris, Money.co.uk, ikut mendukung temuan ini. Pengiriman barang dari hasil penjualan Black Friday diperkirakan melepaskan lebih dari 429 ribu metrik ton emisi gas rumah kaca.

Ini setara dengan 435 penerbangan pulang pergi dari London, Inggris ke New York, AS. Namun, Purnell mengatakan volume CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas pengangkutan barang belumlah seberapa jika dibandingkan dengan CO2 yang dihasilkan selama proses manufaktur.

"Memproduksi laptop akan melepaskan 100 hingga 200 kilogram CO2 ke atmosfer dan rata-rata tablet Anda mungkin melepaskan 50 kilogram. Membeli baju dapat melepaskan beberapa kali lebih banyak CO2 dibandingkan berat baju itu sendiri," paparnya.

Black Friday 2015 di Amerika Serikat (sumber: Business Insider)

Photo :

Sayangnya, banyak dari barang-barang yang dibeli selama musim diskon Black Friday tidak berumur panjang.

Sebuah studi pada 2019, berdasarkan penelitian Purnell, yang juga co-director dari Textiles Circularity Center yang berbasis di Inggris, mengungkapkan, pakaian hasil pembelian selama Black Friday seringnya dibuang setelah hanya sekali dipakai.

Studi ini juga menemukan bahwa hingga 80 persen plastik dan tekstil rumah tangga berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar. Bahkan, Purnell melihat perubahan ini juga berarti mengubah model bisnis.

"Ekonomi kita masih didominasi oleh bisnis yang menghasilkan uang dengan menggali barang-barang dari tanah, mengubahnya menjadi produk, menjualnya, dan kemudian membujuk orang-orang bahwa mereka perlu membeli kembali barang tersebut," jelas dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya