- thedailybeast.com
VIVAnews – Sambil mengoleskan produk penggelap kulit, Arnaud de Borchgrave berjemur di teras sebuah hotel di Amman, Yordania. Tiba-tiba terdengar keributan di jalanan di teras bawah. Lalu sebutir peluru melesat, nyaris menghajar pria veteran Angkatan Laut Inggris itu.
Peluru itu melubangi jendela kaca, dan menembus ke kamar, ke lemari pakaian. Lima jas milik Arnaud, yang dijahit khusus di Savile Row, London, tertembus timah panas itu. Tahun 1970-an, satu jas ini saja berharga lebih seratus poundsterling, sekitar jutaan rupiah.
Borchgrave panik. Pantang baginya tak mengenakan pakaian bermerek ketika bertemu para pemimpin negara atau pemerintahan. Hari itu juga, dia berbelanja lima jas bermerek lagi, dan kuitansinya dikirim ke kantornya, Majalah Newsweek, di New York, Amerika Serikat.
“Anda tahu bagaimana (orang-orang) media berpakaian. Saya berpakaian seperti duta besar. Dan saya berhasil (bergaul) dengan duta besar,” kata koresponden luar negeri Newsweek selama 30 tahun, antara 1950-1980 itu.
Penampilannya flamboyan. Mungkin setara dengan kesuksesannya sebagai jurnalis masa itu. Dia wartawan pertama mewawancarai Juan Carlos ketika jadi Raja Spanyol setelah Jenderal Franco terguling. Dia bertemu lusinan kepala negara, dan mewawancarai mereka secara eksklusif, selama 30 tahun karirnya. Belasan medan perang telah dijelajahinya.
“Hari-hari itu, kami bepergian dengan kelas pertama. Tinggal di hotel bintang lima. Jika tinggal beberapa hari di satu tempat, bisa membeli jas baru. Tak pernah ditanya. Tak pernah pengeluaran saya ditanya kantor selama 30 tahun bekerja untuk Newsweek,” kata Borchgrave yang setelah berhenti dari Newsweek pernah menjadi Pemimpin Redaksi The Washington Times itu.
“Kini, tentu saja, semua ditanyakan. Benar-benar masa berbeda. Kami beruntung menjadi bagian dari masa itu,” kata Borchgrave.