Fintech dan Unicorn Diklaim Jauh dari Risiko Krisis

Ilustrasi startup unicorn.
Sumber :
  • www.pixabay.com/geralt

VIVA – Pemerintah menegaskan bahwa perusahaan rintisan atau startup, khususnya dari bisnis teknologi keuangan atau financial technology, masih jauh dari risiko krisis.

Alasan Negara Arab Lebih Pilih Dukung Israel daripada Iran, Khawatir Perang Makin Luas

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Trikasih Lembong di Nusa Dua, Bali, Sabtu 13 Oktober 2018.

"Startup fintech maupun Unicorn. Apakah nilai valuasinya Rp10 triliun sampai Rp30 triliun. Mereka sangat jauh dari risiko ancaman sistemis," kata dia.

Dukung Stabilitas Politik, Kadin Indonesia Hormati Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

Karena itu, Thomas mendorong regulator, khususnya fintech yang diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, untuk melonggarkan aturan. Thomas lalu mencontohkan industri perbankan yang harus diregulasi secara ketat.

"Fintech itu beda sama bank. Kalau ada fintech atau Unicorn yang kolaps itu tidak berdampak domino. Tetapi, kalau bank ada satu saja tumbang, saya pastikan seluruh sistem akan kena rush. Sudah ada contohnya tahun 1998," kata dia.

Airlangga Pede Ekonomi RI Kuartal I-2024 Tumbuh di Atas 5 Persen

Thomas juga mengungkapkan, masih banyak pekerjaan rumah yang lebih urgent yang harus diselesaikan. Ia mengatakan, masih banyaknya perusahaan-perusahaan BUMN yang masih tradisional atau belum melek teknologi yang sedang kurang sehat.

"Kita harus punya prioritas. Banyak perusahaan-perusahaan yang kurang sehat, yang harus disembuhkan. Jadi, saya tegaskan di sini, membendung digital adalah ilusi atau tidak bisa dihalang-halangi. Kita harus terima dengan tangan terbuka," ujar Thomas.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Onny Widjanarko mengatakan, ekonomi digital bisa membuat perekonomian Indonesia tumbuh enam persen, tetapi ada gap di pembiayaan dan produktivitas.

Menurutnya, untuk mempersempit gap bisa dilakukan melalui kredit nonkonvensional seperti fintech. "Saat ini, pasarnya di Indonesia masih sangat besar. Karena, kalau kita bicara digital itu, artinya kemudahan akses. Jumlah pemain belum banyak tapi persaingan ketat, " kata Onny.

Ia menambahkan, BI akan mendigitalkan desa yang produktif atau fintech village, kabupaten dan kota, sampai provinsi. Tujuannya, agar akses lebih mudah ke fintech.

"Banyak nasabah yang tidak dilayani bank, sehingga sulit dapat kredit. Dengan fintech, diharapkan kredit bisa tumbuh dua digit dan ekonomi nasional stabil," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya