Mengintip Peta Bisnis Co-Working di Indonesia

Salah satu ruang co-working di Conclave
Sumber :
  • VIVA.co.id/Amal Nur Ngazis
VIVA.co.id
Enam Startup Indonesia Kembali Berguru ke Markas Google
- Tren berkantor santai dengan menyewa ruangan atau dikenal dengan
co-working space
Startup Indonesia Gembira Bisa 'Naik Haji' ke Silicon Valley
tengah muncul di beberapa kota di Indonesia. Industri ini dianggap sebagai peluang baru untuk mendukung industri kreatif di Tanah Air.
Mi Bikini yang Meresahkan Negara

Salah satu yang mendirikan co-working space yaitu Conclave, yang berlokasi di Jakarta Selatan.

Aditya Hadiputra, Chief Financial Officer sekaligus salah satu pendiri Conclave mengatakan tren bisnis co-working space di Indonesia muncul sejak dua atau tiga tahun lalu dengan munculnya co-working space Comma (Collaboration Matters).


Aditya mengatakan sebagai pionir
co-working space,
Comma awalnya mengawali kerja dengan konsep kantor berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.


"Jadi mereka itu ingin rasakan kerja bareng dengan orang lain di sebuah tempat. Jadi kerjanya di sebuah meja besar bareng dengan orang lain.
Nah
ini tiba-tiba ada
developer,
desainer dan
freelancer.
Mereka ikut dan coba kenalkan itu dalam industri," kata dia ditemui di kantornya, Jakarta Selata, Selasa, 16 Juni 2015.


Ia mengatakan secara nasional pemain yang menawarkan ruang sewa untuk
co-working space
masih terbilang sedikit, hanya sekitar 20-an saja.


Dan kebanyakan, kata dia, ada di Jakarta dan kota besar lainnya seperti Bandung.


"Kalau di Jakarta saja, itu di Wolter Monginsidi (Jakarta Selatan) ada Comma, ada di Kemang, ada di Senopati, Tebet, Kuningan mau dibangun juga. Di SCBD ada, bahkan deket UI, Depok ada itu, Pondok Margonda. Di BSD juga ada," kata dia.


Sedangkan
co-working space
di daerah, kata Aditya belum begitu tumbuh seperti di Jakarta. Memiliki karakter yang berbeda. Ia menyontohkan di surabaya, konsep
co-working space
lebih ke arah tanggung jawab sosial perusahaan. Secara umum ia melihat bisnis
co-working space
bisa dilihat dari orientasinya.


"Jadi tergantung tujuan
co-working
sih, ada lebih inkubator, ada yang lebih ke komersial, ada
co-working
demografinya lebih ke
developer
, misalnya di Bandung itu
kan
lebih ke IT, namanya Hackerspace
ya
," kata dia.  


Menurutnya, angka
co-working space
di Tanah Air masih sangat jauh dari ukuran
co-working
di negara maju. Aditya menyebutkan misalnya di New York, Amerika serikat yang bisa jadi tolak ukur, ada ratusan perusahaan yang menyediakan
co-working space.

"Seluruh dunia
co-working
itu juga industri yang baru tumbuh
ya
," kata dia.


Ditambahkan dia, salah satu standar
co-working space
dunia yaitu WeWork di New York, yang mana seluruh gedungnya dijadikan sebagai
co-working space.

"Jadi itu
full utilisation.
Jadi mereka gunakan nilai guna dari gedung 100 persen untuk
co-work
," jelas dia.


Sedangkan untuk ide membangun Conclave, Aditya mengaku itu diawali dari pengalaman pribadi yang bekerja dan beraktivitas tapi tidak memiliki kantor.


"Itu mulai ada pengalaman jadi
cafe worker
(bekerja dengan ngantor di kafe). Habis itu mulai kepikiran dan waktu S2 di Sydney lihat banyak
co-working space,
ada 10-an," katanya.


Aditya mengatakan konsep berkantor dengan
co-working space
lebih hemat dan efektif dibanding berkantor dalam konsep umum.


Pria yang lulusan S2 dari sebuah universitas di Sydney, Australia itu mengutip hasil dari survei Co-Working Space Global.  


"Jadi hasilnya kurang lebih 70 persen itu lebih produktif, efisien dan kreatif," kata dia.


Conclave menginginkan konsep ini makin berkembang secara nasional. Perusahaan ini menargetkan, sampai akhir tahun ini memiliki dua gedung
co-working space.

"Kami ingin ada satu lagi di Bali untuk tahun ini, dan tahun 2016 kalau finansial sudah ada kami ingin ada dua lagi," kata Rendy Latief, Chief Executive Officer Conclave.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya