Mengulik Data Scientist, Bisa 'Baca' Riwayat Hidup Seseorang

Kantor Cambridge Analytica di Inggris.
Sumber :
  • REUTERS/Henry Nicholls

VIVA – Kebutuhan besar atas pengolahan data pada industri mengerucut pada satu pekerjaan, data scientist. Namun, apa sebenarnya data scientist itu?

Apapun Dilakukan Facebook untuk Mempertahankan Dominasi

Managing Director Putera Handal Indotama (PHI) Integration, Feris Thia, menjelaskan bahwa data scientist merupakan pekerjaan untuk mengolah data yang menghasilkan suatu cerita. Nantinya, hasil tersebut harus menjadi satu tujuan yang ditentukan.

Ia lalu mencontohkan data scientist dengan Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik yang namanya terseret skandal kebocoran data pengguna Facebook.

Data Scientist Hasilkan Cerita untuk Satu Tujuan

"Cambridge Analytica itu, ya, data scientist. Karena mampu menerjemahkan like, dislike dan respons terhadap kuis yang diberikan. Ini menjadi bahan penentu partai politik untuk melihat isu apa yang sebaiknya diekspos ke demografik tertentu. Kapan, di mana, serta umur penggunanya berapa," kata Feris kepada VIVA, Jumat malam, 13 Juli 2018.

Kepala Eksekutif Facebook Mark Zuckerberg.

Ilmuwan Ini Berhasil Ciptakan Koper Bertenaga Al, Permudah Tunanetra Navigasi Lingkungan

Ia juga menyebut kalau perilaku orang adalah bagian dari data. Untuk kemudian diolah dan menjadi informasi berguna bagi yang membutuhkan. Pekerjaan mengolah data ini, menurut Feris memang tidak jauh berbeda dengan pekerjaan statistik.

Feris mengungkapkan bila data scientist merupakan statistik yang dilengkapi dengan kemampuan komputasi untuk pengolahan data. 

Butuh imajinasi

Namun, porsi komputasi pada data scientist tidak terlalu besar. “Justru yang paling besar adalah kebutuhan analisis data serta analytical thinking," jelas Feris.

Selain itu, data scientist membutuhkan imajinasi yang tinggi. Semua data yang telah dikumpulkan dan diolah atau dimodelkan bisa menjadi variabel yang berbeda tergantung dari seberapa jauh imajinasi orang yang mengolahnya.

"Misalnya begini. Ada yang keluar masuk jam 10 dan jam 10 lewat 1 detik itu di kita hanya soal waktu. Tapi oleh data scientist itu dimasukkan ke dalam golongan orang berkelompok, kemudian menjadi kategori baru,” tuturnya.

“Nah, itu butuh imajinasi," papar dia.

Kendati demikian, Feris mengakui, masih ada satu tantangan bagi orang yang mau terjun ke pekerjaan ini. Yaitu, belum adanya contoh dengan kasus familiar bagi orang Indonesia.

Selain contoh kasus, semua hal sudah bisa dipenuhi. Mulai dari masyarakat Indonesia yang diklaim Feris tak kalah dengan negara lain ataupun sudah banyaknya tutorial di internet.

"Data istilahnya merakyat. Learning barrier-nya berkurang. Makin mudah dipahami makin mudah diserap. Untuk mengartikan saja butuh effort. Dengan data yang kurang familiar maka effort-nya bertambah. Niat belajarnya juga berkurang," kata Feris.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya