Ahli Pendeteksi Kebohongan: Jokowi Tidak Nyaman Jawaban Prabowo

Capres nomor urut 01 Joko Widodo menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Debat capres kedua menyisakan isu yang menjadi perhatian publik. Sebagian publik menduga capres nomor urut 01 Joko Widodo menggunakan alat baru komunikasi berupa earpiece saat debat. Tandanya adalah gestur Jokowi yang menggarukkan jarinya ke telinga.

Profil Mayor Teddy, Dari Asisten Ajudan Jokowi Kini Jadi Ajudan Prabowo yang Diidolakan Kaum Hawa

Gestur ini dinilai adanya earpiece di dalam telinga Jokowi. Gestur lain dari Jokowi yang menjadi perhatian yakni tangan kirinya yang memencet pulpen. 

Gestur tersebut dianggap sebagian publik menguatkan narasi Jokowi memang memakai alat bantu komunikasi. 

Anak di Palembang Tega Aniaya Orang Tua Gara-gara Beda Pilihan Capres

Ahli pendeteksi kebohongan, Handoko Gani menjelaskan, dalam menganalisis gestur seseorang perlu diketahui paling tidak empat kemungkinan. Kemungkinan pertama, kebetulan saja, misalnya orang tiba-tiba telinga gatal karena nyamuk. 

Kemungkinan kedua adalah kebiasaan sehari-hari. Penanda bisa dilihat dari tiap interval waktu tertentu atau tiap kali ada stimulasi tertentu, seseorang akan memunculkan gestur tersebut. 

Fadil Jaidi Unggah Kebersamaannya Dengan Keluarga Anies Baswedan

Kemungkinan ketiga,  muncul akibat ketidaknyamanan fisik maupun emosi, dan kemungkinan keempat yakni gestur yang menunjukkan indikasi kebohongan.

Gestur garuk telinga

Dalam konteks gaya bahasa tubuh Jokowi dalam debat capres akhir pekan lalu, pakar Behavior Analysis & Investigative Interview dari Emotional Intelligence Academy, Manchester, Inggris itu melihat, gestur garuk telinga pada capres nomor urut 01 itu bukan sebagai faktor kebiasaan. 

"Apabila itu adalah kebiasaan, maka gestur ini akan muncul dengan interval waktu yang konsisten. Misalnya kebiasaan naikin alis atau geleng kepala. Karena gerakan tersebut tidak muncul dalam interval waktu yang konsisten, itu bukan kebiasaan," jelas Handoko kepada VIVA, Selasa malam 19 Februari 2019.

Kalau faktor kebiasaan, untuk lebih mendalam, perlu membandingkan gestur Jokowi pada video sehari-harinya, misalnya saat diwawancarai wartawan dalam topik-topik sebelumnya.

Dia menuturkan, gestur Jokowi pada debat kedua kemarin, bukan faktor ketidaknyamanan fisik misalnya akibat stimulasi benda atau suara pembisik gelap dari kendali Handy Talkie yang masuk ke telinga Jokowi. 

Handoko menjelaskan, mirip dengan faktor kebiasaan, jika gestur itu akibat ketidaknyamanan fisik, pasti ada beberapa kali kemunculan gestur itu random alias tidak spesifik. Sebab hal ini tergantung dari stimulasi 'gangguan' dari luar, misalnya suara Handy Talkie tiba-tiba berdengung mengganggu. 

"Namun kalau ini ketidaknyamanan fisik, pasti akan disertai ekspresi wajah tidak nyaman, misalnya sakit karena dengung di telinga. Dan gestur tangan juga terlihat melindungi telinga. Nah, kita tidak melihat ini semua," tuturnya. 

Jika Jokowi dibisiki dan didikte dalam debat kemarin, maka ada potensi bertabraknya waktu suara pembisik dengan jawaban Jokowi. Kondisi ini akan mengakibatkan ekspresi, gestur, suara serta penjelasan Jokowi menjadi terganggu misalnya kata-katanya terputus, berantakan dan sebagainya. Jadi menurut Handoko, reaksi gestur Jokowi dalam debat capres kedua kemarin, bukan akibat faktor ketidaknyamanan fisik.

Handoko belum menyimpulkan gestur Jokowi dalam debat terakhir adalah indikasi gerakan kebohongan. Untuk sampai pada kesimpulan ini, perlu membandingkan baseline atau kondisi bahasa tubuh normal Jokowi dengan perubahan bahasa tubuh Jokowi saat bicara topik spesifik pada kalimat atau kata tertentu. 

Gestur Jokowi pada debat kemarin, menurut Handoko, juga bukan sebuah faktor kebetulan. Parameternya jelas, kata dia, kalau kebetulan maka pasti jumlah gesturnya sedikit.

Dengan demikian, kemungkinan terakhir analisis gestur garuk telinga Jokowi adalah akibat ketidaknyamanan emosional. 

Pada faktor ini, Handoko menuturkan, untuk memastikannya yakni mencari tahu kapan kah, konteks topik atau pada pernyataan tertentu, yang menyebabkan gestur khas itu muncul. 

"Inilah yang memastikan saya bahwa ada gerakan garuk telinga yang muncul karena gatal. Ada yang muncul karena tidak nyaman," ujar pria yang menjadi instruktur Lie Detector.

Handoko menilai, Jokowi tidak nyaman saat Prabowo mengemukakan pendapatnya soal reformasi agraria dan bagi-bagi sertifikat tanah. 

Pada momen ini, Handoko melihat, Jokowi meresponnya dengan gestur garuk telinga. Secara lebih detail, Handoko menganalisis, sebelum garuk telinga, Jokowi mendahuluinya dengan gerakan ketidaknyamanan lain yakni dalam 3-5 detik terakhir sebelumnya, Jokowi menegakkan posisi badannya dan mata melotot. 

Gestur itu, jelas Handoko, adalah ekspresi Facial Action Coding System-Action Unit (FACS-AU) 1B Brow Raise dan 2B Outer Brow Raise serta 5C Upper Lid Raise. Selain itu Jokowi melengkapinya dengan gestur poros tubuh menjauh atau membuang ke sisi kanan badannya. Setelah itu barulah muncul gerakan gestur telinga. 

"Jadi, gestur ketidaknyamanan enggak nongol sendirian," jelasnya. 

Gestur pencet pulpen

Gestur memencet pulpen menurutnya analisisnya sama dengan gestur garuk telinga. Kalau faktor kebiasaan pasti gestur pencet pulpen akan dilakukan terus menerus dengan interval ritme pencetan tertentu. Gestur ini bisa dilihat dari orang yang punya kebiasaan memainkan atau memutar pulpen. 

Kalau faktor kebetulan atau katakanlah iseng-pencet-pencet, maka menurutnya, ada waktunya 
keisengan itu berhenti. 

Sedangkan kalau faktor ketidaknyamanan, harus dilihat kapan konteks munculnya dan ritme gerakan tersebut. Ritme memencet pulpen akan menjawab apakah ada ketidaknyamanan emosional atau tidak. 

"kalau ketidaknyamanan emosional, maka kita akan mendengar pencetan dengan durasi cepat sekali dan irama tidak beraturan anggap kaki yang bergerak-gerak seperti sedang menjahit. Kadang cepat sekali, kadang diam atau hanya sesekali," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya