Kenapa Kemarau Tahun Ini Lebih Kering dari 2018?

Musim kemarau menyebabkan areal persawahan gagal panen
Sumber :
  • VIVA/Dani

VIVA – Musim kemarau diperkirakan terjadi di Indonesia sampai Oktober nanti. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengantisipasinya dengan menyiapkan informasi peringatan dini pemantauan sebaran asap dan prediksi zona yang mudah terbakar. Berdasarkan pemantauan badan cuaca ini, musim kemarau tahun ini lebih kering dari tahun lalu.

Pakai Pelumas Biar Area Genital Lebih Licin, Ketahui Dulu 5 Efek Sampingnya Ini

Kepala Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, R. Mulyono Rahadi Prabowo mengatakan, saat ini sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa wilayah di ASEAN sedang mengalami musim kemarau (monsun Australia). 

Pada monsun Australia, pola angin secara umum berasal dari arah Tenggara yang bersifat kering. 

BLT El Nino Akan Diberikan Hingga Maret 2024

"Selain itu, kondisi musim saat ini juga dipengaruhi oleh kondisi anomali suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang negatif khususnya di selatan ekuator, El Nino dengan intensitas lemah yang berlangsung dari akhir 2018 saat ini menuju kondisi netral, serta Indian Ocean Dipole Mode yang saat ini bernilai positif," kata Prabowo dalam keterangannya dikutip Rabu 7 Agustus 2019. 

Kondisi itu mengakibatkan musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018 dan kondisi lahan khususnya gambut secara potensi mudah terbakar. 

Negara Kekeringan Likuiditas, Mengapa?

"Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang dapat berkembang menjadi kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara. Untuk itu diperlukan kewaspadaan dan langkah antisipatif untuk meminimalisir dampak," kata dia. 

Titik panas

Berdasarkan hasil pemantauan selama dua pekan terakhir yaitu 25 Juli-5 Agustus 2019, sedikitnya BMKG mengidentifikasi terdapat 18.895 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Nugini. 

Prabowo mengungkapkan, informasi titik panas tersebut dianalisis oleh BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (LAPAN) dan Satelit Himawari (JMA Jepang). 

Peningkatan jumlah titik panas ini, menurutnya diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar. 

Kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar. 

Oleh karena itu, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), BNPB, Pemerintah Daerah (BPBD), Instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiap-siagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih. 

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan BMKG, menunjukkan adanya tren titik panas meningkat di berbagai wilayah ASEAN, terpantau mulai 25 Juli 2019 sebanyak 1395 titik meningkat menjadi 2441 pada tanggal 28 juli 2019. Kemudian titik panas mulai menurun pada tanggal 29 Juli 2019 menjadi sebanyak 1782 titik, dan menjadi 703 titik pada tanggal 1 Agustus 2019. 

Jumlah titik panas meningkat kembali menjadi 3191 pada tanggal 4 Agustus 2019, titik panas tersebut terkonsentrasi di wilayah Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, bahkan juga terdeteksi di Serawak (Malaysia), Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Filipina. (ali)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya