Pengguna Internet di Hongkong Main Petak Umpat Sama China

Ilustrasi sensor internet di China.
Sumber :
  • Variety

VIVA – Teknologi Blockchain diklaim bisa menyembunyikan dokumentasi kebebasan berpendapat warga Hongkong di tengah pengawasan ketat pengguna internet oleh pemerintah China.

Peremajaan Sawit Jauh dari Target, Airlangga: Hanya 50 Ribu Hektare per Tahun

Menurut aktivis hak digital Hongkong, Glacier Kwong, Blockchain memungkinkan pengguna internet untuk menyimpan informasi di banyak database, sehingga membuat dokumen lebih sulit diretas.

"Karena, orang-orang khawatir bahwa pemerintah akan membuat narasi baru untuk menutupi kebenaran. Mereka pun mencoba menggunakan teknologi Blockchain untuk menyimpan catatan (dokumentasi), yang dapat memastikan tidak akan terhapus secara online," ungkapnya, seperti dikutip dari situs Deutsche Welle, Minggu, 21 Februari 2021.

AS Tuntut 7 Warga China atas Peretasan Jahat yang Disponsori Negara

Ia pun menyebut Pemerintah Hongkong tidak perlu berbuat banyak karena orang-orang sudah melakukan sensor sendiri ketika mereka berbicara tentang berbagai hal. Di mana menurut Kwong, inilah efek akhir yang ingin dicapai oleh pemerintah.

Asisten Profesor School of Journalism and Communication dari Chinese University of Hongkong, Lokman Tsui, meyakini jika sejumlah warga bekerja secara kreatif menggunakan Blockchain untuk mendokumentasikan apa yang telah terjadi selama 18 bulan terakhir.

Korban Tewas Akibat Penembakan di Gedung Konser Moskow Bertambah Jadi 140 Orang

Namun, Tsui juga percaya bahwa Blockchain tidak cukup untuk menyelamatkan kebebasan internet di Hongkong.

"Kami dapat melihat China sebagai peramal masa depan. Ini lebih kepada masalah sosial daripada masalah teknis murni. Teknologi Blockchain tidak akan mengubah itu. Karena, internet adalah bagian dari struktur sosial Hong Kong, maka hanya masalah waktu sebelum pemerintah mengalihkan fokusnya ke aktivitas online," tegas dia.

Selain hilangnya arus bebas informasi, serangan baru terhadap kebebasan berinternet juga memaksa pengguna internet di Hongkong untuk berpikir dua kali sebelum memposting konten apa pun secara online.

"Hongkong adalah kota yang dibangun di atas kebebasan. Orang-orang datang ke sini untuk itu. Saya tidak tahu apa artinya ini bagi Hongkong, tetapi sejauh ini tampaknya tidak akan baik," papar Tsui.

Sebagai informasi, sejak Undang-Undang Keamanan Nasional diberlakukan di Hongkong pada Juli 2020, berbagai aktivitas masyarakat sipil di wilayah itu dihambat, termasuk kebebasan berinternet.

Pada awal tahun ini, penyedia layanan internet Hongkong mengonfirmasi bahwa mereka telah memblokir akses ke situs web pro-demokrasi yang mendokumentasikan insiden yang terjadi selama aksi protes panjang pada 2019.

Langkah tersebut menjadi bukti pertama kalinya penyedia internet Hongkong memenuhi tuntutan pemerintah untuk memblokir situs web di wilayah tersebut.

Pada 13 Februari kemarin, pengguna internet di Hongkong melaporkan bahwa situs web Komisi Keadilan Transisi Taiwan, sebuah badan pemerintah independen, juga tidak dapat diakses di Hongkong. Media lokal mengonfirmasi bahwa situs web itu hanya dapat diakses melalui jaringan pribadi.

Para ahli mengatakan bahwa pemblokiran adalah bentuk lain dari dampak hukum yang melarang pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing, pada kebebasan internet di Hongkong.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya