Gambar Tangan di Gua Prasejarah: Simbol Kelompok dan Tolak Bala

Prof Dr R Cecep Eka Permana, SS, MSi.
Sumber :
  • Universitas Indonesia

VIVA – Rektor Universitas Indonesia Prof Ari Kuncoro, SE, MA, Ph.D mengukuhkan empat guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dalam Sidang Terbuka Upacara Pengukuhan Guru Besar yang dilakukan secara virtual pada Sabtu, 19 Juni 2021.

Upacara POUN di Kelenteng Hiap Thian Kiong Karawang, Mohon Doa Keselamatan dan Lindungi Nasib

Keempatnya adalah Prof Dr Irmawati Marwoto, SS, MS, Prof Dr R Cecep Eka Permana, SS, MSi, Prof Manneke Budiman, SS, MA, Ph.D, dan Prof Dr Lilawati Kurnia, SS, MA.

Dalam pengukuhannya, Cecep menyampaikan pidato berjudul 'Gambar Tangan pada Gambar Cadas Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan, serta Tantangan Pengembangan dan Pelestariannya'.

Pertama di Indonesia, UI Buka Prodi Subspesialis Orthopaedi

Gambar tangan (hand stencil) merupakan salah satu bentuk motif gambar cadas (rock art) yang paling banyak ditemukan di dinding gua dan tebing dari situs prasejarah di seluruh dunia.

“Gambar tangan prasejarah ini sangat penting dikaji karena merupakan jejak budaya yang dibuat langsung dari dan oleh manusia pemilik atau pendukung kebudayaan tersebut,” kata dia.

FTUI Berikan Penyuluhan Dampak Limbah Baterai Bekas

Gambar tangan di Indonesia terbanyak ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan, tepatnya Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Menurut Cecep, gambar tangan di tempat tersebut umumnya ditemukan memiliki lima jari, meskipun ada pula yang tidak lengkap.

Selain itu, gambar tangan dengan jari yang tidak lengkap di berbagai belahan dunia disebabkan karena tradisi ritual pemotongan atau mutilasi jari. Penggambaran gambar tangan pada gua prasejarah diduga dilakukan sebagai penanda kepemilikan kelompok, atau sebagai tanda tolak bala.

"Beberapa etnografi di Afrika dan Australia juga mendukung kesimpulan ini. Maka dari itu, hasil pengukuran yang kami lakukan bahwa gambar tangan di gua umumnya dibuat oleh perempuan," jelasnya.

Hal ini, Cecep mengaku, menunjukkan bahwa kaum perempuan juga memiliki peran dalam kehidupan budaya gua, yang seharusnya, didominasi oleh laki-laki karena pola hidup berburu-meramu pada saat itu. Pada akhir pidatonya, Cecep berharap bahwa di masa depan Ilmu Arkeologi Universitas Indonesia akan bersifat inter dan multidisipliner.

“Karena, untuk mempelajari manusia dalam konteks masa lalu, diperlukan begitu banyak kajian dari berbagai dimensi, entah sosial, budaya, ekonomi, religi, kesehatan, maupun sains dan teknologi. Keterlibatan bidang ilmu lain tentu akan membantu Ilmu Arkeologi untuk dapat lebih mengungkap apa yang terjadi di masa lampau,” ungkap dia, menjelaskan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya