'Pelajaran Agama Terkait Lingkungan Perlu Masuk dalam Kurikulum'

Perubahan iklim.
Sumber :
  • life-a-big-mystery.blogspot.com

Jakarta, VIVA – Stan Pameran Majelis Hukama Muslimin (MHM), Jumat 15 Agustus 2024, kembali dipadati pengunjung yang melihat buku dan mengikuti talk show tentang Agama dan Lingkungan: Sinergi Lintas Agama Menuju Pembangunan Berkelanjutan.

Bea Cukai: Operasi Thunder dan Demeter 2024 untuk Lindungi Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Hadir sebagai narasumber, Ketua Pusat Pengkajian Islam Universitas Nasional, Dr Fachruddin M Mangunjaya dan Direktur MHM kantor cabang Indonesia, Muchlis M Hanafi.

Mengawali paparannya, Dr. Fachrudin menjelaskan bahwa secara global, ada tiga krisis planet bumi. Pertama, perubahan iklim. Kedua, kepunahan keanekaragaman hayati, mulai dari burung, monyet, serangga, dan lainnya. 

Gus Miftah Tolak Uang Ceramah Rp75 Juta karena Dianggap Terlalu Murah

"Serangga berperan penting untuk penyerbuk, mengawinkan benang sari dan putik. Kepunahan serangga berdampak pada hasil buah menurun," sebut Dr Fachruddin. 

Krisis ketiga adalah polusi, terutama plastik. Dr. Fachruddin mengingatkan semua pihak untuk mengurangi plastik. Menurutnya, jika kebiasaan masyarakat saat ini dalam penggunaan plastik tidak berubah, maka jumlah limbah plastik pada 2050 lebih banyak dari iklan. 

SIG Komitmen Jalankan Operasional Bisnis Berkelanjutan

Lantas kenapa agama perlu hadir dalam ikut menjaga pelestarian lingkungan? Dr Fachruddin menjelaskan bahwa agama merupakan garda moral. Pencegahan krisis lingkungan bertumpu pada bagaimana perubahan perilaku dapat dilakukan.

Menurut Dr Fachruddin, ada empat hal yang dapat mengubah perilaku manusia. Pertama, Agama. "Agama mengajarkan kebaikan, tidak mubadzir, dan berbagi. Itu prinsip lingkungan," ujar Dr. Fachruddin.

"Agama juga mengatakan segala yang ada di bumi diciptakan Tuhan. Itu ajaran agama. Karenanya, perlu mainstreaming pelajaran agama yang terkait lingkungan. Ini perlu masuk dalam kurikulum," sambungnya.

Faktor kedua yang dapat mengubah perilaku manusia adalah pendidikan. Di kampus Universitas Nasional, ada Mata Kuliah Konservasi Alam dan Lingkungan. Mata kuliah ini bisa diikuti mahasiswa lintas fakultas. 

"Mata kuliah ini mengkaji bagaimana mempertahankan keberlanjutan pembangunan. Ekonomi tidak akan berputar kalau lingkungan rusak, tidak ada air dan lainnya," paparnya.

Faktor ketiga, penegakan hukum. Orang tidak berubah jika hukumnya tidak ditegakkan. 

Keempat, pasar. "Botol plastik kalau ada market-nya, maka akan dipungut. Kalau tidak ada market, tidak ada perubahan. Sebab, tidak ada sirkular ekonomi," ucapnya.

Kenapa agama harus hadir dalam isu perubahan iklim? Dr. Fachruddin menjelaskan lima peran agama. Pertama, Reference. Semua agama punya kitab suci. 

"Al-Qur'an mengajarkan agar kita tidak merusak setelah Allah memperbaikinya. Banyak ayat yang mengimbau manusia untuk menjaga lingkungan dan itu selalu dibuka dengan keagungan Tuhan," 

Kedua, responsibility. Agama mewajibkan umatnya untuk taat dan bertanggung jawab, baik sebagai manusia, warga negara, dan warga bumi. 

Ketiga, respect. Agama mengajarkan umatnya untuk saling menghargai dan tidak saling memusuhi. 

Keempat, restrain. Ajaran agama bisa menjinakkan. Dr. Fachruddin mengaku tengah mengkaji kitab yang ditulis pada abad 17, karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yaitu Sabilal Muhtadin. Salah satu bab dalam kitab ini membahas tentang makanan. Dalam kitab ini, ada daftar binatang yang tidak boleh dikonsumsi. 

"Kitab ini misalnya mengajarkan dilarang memakan binatang yang berkuku tajam, amphibi, reptilia, dan lainnya. Ajaran ini dipahami masyarakat Muslim dan ikut memberikan pengaruh pada pelestarian hewan," sebut Dr. Fachruddin.

"Lembaga swadaya masyarakat yang concern pada perlindungan alam baru berdiri sekitar 1960. Fuqaha sudah mengatur sejak 300 tahun lalu agar kita tidak makan semua," sambungnya.

Kelima, resdistribusi. Kemampuan untuk berbagi. Dalam agama ada sedekah, infak, zakat. Berbagi bukan hanya untuk sesama manusia tapi juga alam. Sekarang ada hutan wakaf. 

"Hal seperti ini diajarkan agama yang berpotensi dapat melestarikan lingkungan hidup," tandasnya.

Direktur MHM cabang Indonesia, Dr. Muchlis M Hanafi, menjelaskan bahwa setiap warga dunia saat ini mengalami ketidaknyamanan karena perubahan iklim. Siapa pun dia dan apa pun agamanya. Karenanya, semua umat beragama bertanggung jawab menyelamatkan bumi ini. 

"Semua pihak bertanggung jawab mewariskan bumi ini kepada generasi setelah kita sebagaimana kita mewarisi bumi dari pendahulu dalam suasana nyaman," tegas Dr. Muchlis.

"Menjaga kelestarian lingkungan adalah kebutuhan hidup. Sebab, semua kita ingin nyaman. Kita ingin pasokan makan kita aman. Kita ingin ketahanan sosial kita kuat," sambungnya.

Sebagai umat beragama, kata Dr. Muchlis, umat punya tanggung jawab keagamaan. Agama memerintahkan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan. "Menjaga kelestarian lingkungan adalah kebutuhan hidup sekaligus kewajiban agama. Pada titik ini kita bertemu dengan pemeluk agama-agama lain," tegasnya.

MHM, lanjut Dr. Muchlis, dalam beberapa tahun terakhir memberi perhatian tinggi terhadap isu perubahan iklim. Tahun 2023 ada 3 even besar MHM yang menggalang kekuatan semua agama untuk memperhatikan lingkungan

Pada 22 Oktober 2024, MHM menggelar Konferensi Asia Tenggara tentang Agama dan Perubahan Iklim, di Jakarta. Event ini dihadiri tokoh lintas agama.

Selang sebulan, pada November 2023, MHM menggelar pertemuan tokoh agama dunia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Selanjutnya, pada COP 28 di Dubai, MHM membuka Paviliun Iman. Ini menjadi wadah tokoh lintas iman untuk berpartisipasi dalam mengurangi dampak perubahan iklim

"Pada COP29, MHM juga akan kembali menghadirkan Paviliun Iman untuk membangun kesadaran umat beragama akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan," tandasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya