Karakter Bukan Sekadar Diajarkan Tapi Dicontohkan

Rektor Universitas Pancasila Prof Marsudi Wahyu Kisworo
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA –  Rektor Universitas Pancasila Prof Marsudi Wahyu Kisworo menyampaikan bahwa pendidikan karakter sebagai pondasi kesuksesan seseorang bukan sekedar diajarkan, akan tetapi harus dicontohkan kepada setiap murid atau mahasiswa.

Prabowo Tegaskan Pendidikan dan Kesehatan Jadi Prioritas Utama APBN 2025

Hal itu ia sampaikan pada kuliah umum Fakultas Psikologi dengan topik 3 Dosa Besar Pendidikan: Peran Mahasiswa sebagai Agen Pengubah, di Kampus Universitas Pancasila, Depok, pada Selasa, (20/9/2024).

Seminar ini menarik karena membahas 3 dosa besar pendidikan versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dari hasil survei mereka yaitu kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi. Pembicaranya juga menarik, yaitu Kepala Pusat Pendidikan Karakter Kemdikbud, Rusprita Putri Utami.

Fakta yang Jarang Diketahui tentang Unika Atma Jaya

"Kalau saya melihat masalah pendidikan karakter bukan hanya masalah yang sekadar diajarkan, pendidikan karakter harus dicontohkan. Saya katakan ada 10 dosa pendidikan kita tapi bukan hanya dari aspek mahasiswa tetapi dari aspek bagaimana sistem pendidikan kita yang selama ini tidak membuat mahasiswa atau murid-murid memiliki karakter yang baik," ujarnya.

Renovasi TK di Dusun Butuh, PNM, Jamkrindo, Askrindo, dan Bank IBK Dukung Sarana Belajar yang Nyaman Bagi Anak-Anak Desa

"Jadi yang berdosa adalah pengambil keputusan dalam sistem pendidikan, bukan para murid. Mereka hanyalah korban dari sistem pendidikan yang salah," lanjutnya.

Diketahui, hal itu pun pernah ia tulis dalam buku best seller berjudul 'Revolusi Mengajar' yang terbit tahun 2016, ada 10 dosa besar pendidikan yang berakibat kepada apa yang disebut 3 dosa besar oleh Kemdikbud. Ia menuturkan, karena banyak yang minta maka akan segera terbit edisi ke dua.

Dosa-dosa besar tersebut ia mencontohkan paradigma pendidikan yakni Tut Wuri Handayani dinilai sudah tidak relevan. Namun yang tepat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo. Dengan paradigma demikian, menyebabkan tidak memberikan kebebasan pada murid untuk berkreasi.

"Kemdikbud mengkorupsi ajaran Ki Hajar Dewantoro dengan mengambil prinsip terakhir yaitu Tut Wuri Handayani (Dari belakang mendoakan). Seharusnya adalah Ing Ngarso Sung Tulodho (Di depan memberi contoh). Rusaknya karakter bangsa disebabkan oleh para pemimpin, tokoh, dan guru yang tidak memberi contoh yang baik," ujarnya.

Selain itu, pendidikan kita menyebarkan virus yang lebih berbahaya dari Covid 19, yaitu virus mentalitas jadi pegawai. Makanya, lanjut Prof Marsudi, tidak heran kalau ada pembukaan pegawai, apalagi pegawai negeri atau BUMN, peminatnya berjubel.

Kemudian pendidikan kita dari awal mengajarkan persaingan, bukan kerja sama. Sistem perankingan di sekolah yang tujuannya baik tapi dilakukan dengan cara salah berakibat sulitnya terbentuk karakter gotong royong karena setiap murid menganggap yang lain adalah saingan yang harus dikalahkan. "Akibatnya yang pinter unjuk kepintaran dengan jadi juara kelas, yang kuat unjuk kekuatan dengan merundung," terangnya 

"Pendidikan kita mematikan kecerdasan multipel. Yang dianggap pinter adalah yang matematika dan IPA-nya bagus meskipun kalau nyanyi fales," jelas Prof Marsudi.

Lebih dari sekadar kecerdasan intelektual, menurutnya, karakter yang kuatlah yang menjadi penentu utama keberhasilan dalam menjalani hidup. Ia menyatakan keberhasilan hanya 10% ditentukan oleh intelektual dan 90% oleh karakter bukanlah sekadar ungkapan, melainkan sebuah kebenaran yang telah terbukti.

Ia menambahkan saat ini pendidikan karakter justru makin penting. Pekerjaan-pekerjaan fisik nanti akan diambil alih oleh mesin-mesin pintar atau AI, namun ada satu hal yang tidak bisa direplikasi oleh AI secanggih apapun, yaitu karakter manusia.

"Pemahaman ini seharusnya harus dipahami oleh semua mahasiswa dan semua orang," jelasnya.

Untuk membenahi hal ini, ungkap Prof Marsudi, dapat melalui penyesuaian kurikulum. Ia juga menilai kurikulum yang sekarang belum tepat. Seharusnya struktur kurikulum untuk level Sekolah Dasar atau SD lebih pada membangun karakter. Selanjutnya untuk level menengah masuk pada penguatan skill termasuk calistung dan ilmu pengetahuan dititik beratkan saat di jenjang pendidikan tinggi.

"Makanya struktur kurikulum harus diubah seperti itu karena karakter itu pondasi. Karakter seseorang tidak bisa terbentuk saat telah jadi mahasiswa, tidak bisa. Karakter itu bisa dibentuk saat pendidikan usia dini sampai tamat SD. Apakah anak itu suka merundung atau kesewenang-wenangan atau tidak, itu dibentuk ketika kecil," tandasya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya