FOMO vs JOMO: Mana yang Lebih Baik untuk Kesehatan Mental?

FOMO VS JOMO
Sumber :
  • freepik.com/jcomp

VIVA – Jika kamu sering merasa terganggu ketika melihat teman-temanmu asyik berkumpul atau jalan-jalan di media sosial, mungkin kamu sedang mengalami FOMO (Fear of Missing Out). Di sisi lain, jika kamu merasa tenang dan bahagia ketika memilih untuk tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut, kamu sedang mengalami JOMO (Joy of Missing Out).

Bagaimana Kebijakan Pro-Growth Menciptakan Peluang Baru? Menavigasi Pemulihan Ekonomi Pasca-Crisis

Namun, mana yang sebenarnya lebih baik untuk kesehatan mental kita? Yuk, kita bahas lebih dalam tentang kedua konsep ini dan bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

Apa Itu FOMO?

Rekomendasi 7 Makanan Berkuah yang Cocok Dinikmati Saat Musim Hujan

FOMO adalah ketakutan ketinggalan momen penting atau seru, terutama ketika kita melihat orang lain menjalani pengalaman yang tampak menyenangkan. Sumber utama dari FOMO saat ini adalah media sosial, di mana kita disajikan dengan hidup orang lain yang terlihat sempurna entah itu pesta yang heboh, liburan ke luar negeri, atau pencapaian karier. Semua itu bisa membuat kita merasa seolah-olah tertinggal atau 'kurang' dibandingkan dengan orang lain.

FOMO sering kali muncul dari rasa ingin terus terhubung dengan lingkungan sosial dan keinginan untuk selalu menjadi bagian dari sesuatu yang sedang tren. Kita merasa takut ketinggalan, baik itu tren teknologi terbaru, gaya hidup, atau bahkan percakapan hangat di antara teman-teman.

Waspada! Inilah 7 Alasan Bank Bisa Dicabut Izinnya dan Apa Dampaknya Bagi Keamanan Simpanan Anda

Efek FOMO pada Kesehatan Mental

Mungkin kamu berpikir bahwa FOMO hanyalah rasa tidak nyaman sesaat, tetapi jika dibiarkan, FOMO bisa berdampak negatif pada kesehatan mental. FOMO bisa meningkatkan rasa cemas, rendah diri, dan perasaan tidak puas. Perasaan selalu harus mengejar dan membandingkan diri dengan orang lain dapat memicu kelelahan mental. Ketika kita terlalu fokus pada apa yang kita lewatkan, kita sering melupakan apa yang sebenarnya kita miliki dan bisa syukuri.

Kondisi ini dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan, dan pada beberapa orang, bahkan berujung pada perasaan depresi. Selain itu, sering kali orang yang mengalami FOMO cenderung mengabaikan kesehatan fisik dan mental mereka karena terus-terusan mengejar kesenangan atau tren yang dilihat di media sosial.

Apa Itu JOMO?

Sebaliknya, JOMO atau Joy of Missing Out adalah kebahagiaan yang muncul ketika kita secara sadar memilih untuk tidak ikut terlibat dalam aktivitas sosial tertentu. Misalnya, ketika kita memutuskan untuk tidak datang ke sebuah pesta atau acara karena lebih ingin beristirahat di rumah, itu adalah bentuk JOMO. Alih-alih merasa khawatir karena ketinggalan, kita justru merasa puas dan menikmati waktu tersebut.

JOMO menawarkan kesempatan untuk terhubung dengan diri sendiri, menemukan ketenangan, dan menjauh dari tekanan sosial yang sering kali terasa melelahkan. Dengan JOMO, kita bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita, tanpa terpengaruh oleh tuntutan dari luar.

Efek JOMO pada Kesehatan Mental

Banyak ahli kesehatan mental yang menganggap JOMO sebagai pendekatan yang lebih sehat dalam menghadapi dunia yang serba cepat. JOMO bisa membawa ketenangan, membantu kita fokus pada diri sendiri, dan mengurangi stres yang muncul karena tekanan sosial. Mengambil waktu untuk diri sendiri dan menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari bisa memperkuat kesejahteraan mental kita.

Selain itu, JOMO memungkinkan kita untuk lebih mindful atau hadir sepenuhnya dalam setiap momen yang kita jalani. Dengan memilih untuk tidak selalu terhubung dengan media sosial atau lingkungan luar, kita dapat merasakan kedamaian batin yang sulit dicapai jika terus-menerus terjebak dalam lingkaran sosial.

FOMO vs JOMO: Kapan yang Satu Lebih Baik dari yang Lain?

Lalu, apakah FOMO selalu buruk dan JOMO selalu baik? Tentu saja tidak. Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam kehidupan kita, tergantung pada situasinya. Ada saat-saat ketika FOMO bisa menjadi dorongan positif, dan ada juga saat di mana JOMO lebih dibutuhkan untuk menjaga kesehatan mental kita.

Keuntungan FOMO

  1. Motivasi untuk tetap berkomunikasi
    FOMO bisa mendorong kita untuk lebih aktif secara sosial, bertemu dengan orang baru, dan mengeksplorasi pengalaman yang berbeda.
  2. Keluar dari zona nyaman
    Terkadang, FOMO bisa memotivasi kita untuk mencoba hal-hal baru yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan, seperti menghadiri acara atau memulai proyek baru.

Kekurangan FOMO

  1. Rasa cemas berlebihan
    Terlalu fokus pada apa yang kita lewatkan bisa memicu kecemasan yang berlebihan dan mengurangi rasa puas terhadap kehidupan kita sendiri.
  2. Kelelahan mental
    Membandingkan diri dengan orang lain secara terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan dan perasaan ‘kurang’, bahkan jika sebenarnya kita memiliki banyak hal yang patut disyukuri.

Keuntungan JOMO

  1. Ketenangan batin
    JOMO memberi kita kesempatan untuk istirahat, merenung, dan menikmati waktu sendiri tanpa merasa tertinggal dari lingkungan sosial.
  2. Prioritas yang lebih jelas
    Dengan JOMO, kita bisa lebih fokus pada apa yang penting bagi kita, tanpa harus terbawa oleh tren sosial yang tidak sesuai dengan tujuan hidup kita.

Kekurangan JOMO

  1. Kehilangan kesempatan sosial
    Terlalu sering menarik diri dari kegiatan sosial bisa membuat kita melewatkan momen penting dalam kehidupan bersama teman atau keluarga.

  2. Menutup Diri
    Meskipun JOMO bisa memberikan kedamaian, terlalu sering memilih untuk sendirian juga dapat berujung pada isolasi sosial.

Bagaimana Menyeimbangkan FOMO dan JOMO?

Kunci utama dalam menghadapi FOMO dan JOMO adalah keseimbangan. Berikut beberapa tips untuk menjaga keseimbangan antara keduanya:

  1. Kenali Tanda-tanda FOMO Berlebihan
    Jika kamu mulai merasa cemas setiap kali melihat orang lain bersenang-senang di media sosial, itu mungkin tanda bahwa kamu mengalami FOMO berlebihan. Cobalah untuk tidak selalu membandingkan dirimu dengan orang lain.
     
  2. Kelola FOMO dengan Bijak
    Batasi waktu yang kamu habiskan di media sosial. Semakin banyak waktu yang kamu habiskan di medsos, semakin besar kemungkinan terkena FOMO. Fokuslah pada hal-hal yang membuatmu bahagia, bukan pada hal-hal yang di luar kendalimu.
     
  3. Praktikkan JOMO Tanpa Merasa FOMO
    Cobalah menikmati momen-momen tenang tanpa merasa bersalah. Latih diri untuk lebih mindful saat melakukan aktivitas sehari-hari. Sesekali, jadwalkan waktu untuk 'digital detox' agar kamu bisa benar-benar menikmati waktu sendiri tanpa gangguan.
     
  4. Tetap Berkomunikasi Secara Sehat
    JOMO bukan berarti menutup diri sepenuhnya dari dunia luar. Sesekali tetaplah terlibat dalam kegiatan sosial yang menurutmu menyenangkan dan bermanfaat.

FOMO dan JOMO dalam Perspektif Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, FOMO bisa berdampak pada hubungan sosial dan karier. Kamu mungkin merasa harus selalu update dan terhubung dengan semua orang, tetapi kualitas hubungan yang terbentuk bisa dangkal. Sebaliknya, JOMO memberikan ruang untuk merawat hubungan yang lebih dalam dan bermakna. Memilih untuk menyeimbangkan FOMO dan JOMO akan membantu menjaga kesehatan mental dan kepuasan hidup.

Mana yang Lebih Baik untuk Anda?

Tidak ada jawaban pasti mana yang lebih baik, FOMO atau JOMO. Keduanya penting dan punya peran masing-masing dalam hidup kita. Terkadang FOMO bisa mendorong kita untuk berkembang, dan di saat lain JOMO memberikan kedamaian yang dibutuhkan. Yang penting adalah memahami kapan kita perlu terlibat dan kapan saatnya untuk beristirahat. Dengan memahami kebutuhan diri, kamu bisa menjalani hidup dengan lebih bahagia dan sehat secara mental.

Jadi, mulai dari sekarang, cobalah untuk mengatur ulang kebiasaan digitalmu. Jangan takut untuk mengambil waktu untuk diri sendiri, dan jangan ragu untuk tetap terhubung dengan orang-orang terdekat.

Memasak nasi di rice cooker

Jangan Panik! Begini 5 Cara Mengatasi Nasi Kurang Matang Agar Tetap Enak

Nasi yang kurang matang biasanya terasa keras, kering, atau bahkan masih bertekstur seperti beras mentah. Kondisi ini bisa membuat siapa pun merasa frustasi, terutama saa

img_title
VIVA.co.id
13 Desember 2024