Film Gunung Kelud Bikin Tertawa Penonton Festival di Jerman

Film Gunung Kelud Bikin Tertawa Penonton Festival Film di Jerman
Sumber :
  • Miranti Hirschmann/Berlin
VIVA.co.id
Perjuangan Sineas Muda Indonesia Demi Festival Film Berlin
- Gemebyar perhelatan Berlinale, festival film di Berlin, Jerman, menyisakan kisah khusus bagi Indonesia. Pada deretan nama sutradara kelas dunia dalam festival bergengsi itu, ada dua sineas muda Indonesia. Mereka adalah Wregas Bahnuteja dan Loeloe Hendra.

Film Gunung Kelud Bikin Tertawa Penonton Festival di Jerman

Film pendek karya Wregas Bahnuteja yang berjudul
Kembalinya Natalie Portman ke Layar Lebar
Lembusura masuk Berlinale Short bersama 26 film pendek lain karya sineas asal Bhutan, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Brasil. Film besutan Loeloe Hendra yang bertitel Onomastika juga masuk kategori Berlinale Generation K Plus 2. Film berdurasi 15 menit itu diputar bergantian lima film lain asal Prancis, Irak, Inggris, Polandia, dan Bolivia.

Lembusura
berkisah seputar letusan Gunung Kelud dan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat setempat. Wregas sang sutradara yang bermukim di gunung itu merekam letusan Gunung dan menyisipkan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, di antaranya gunung yang diyakini memiliki roh.


Wregas tak menyangka film sarat bahasa Jawa dan canda itu menembus Berlinale pada 5-15 Februari 2015. Soalnya, film itu semula hanya untuk main-main dan tak ada anggaran khusus untuk memproduksinya.


Wregas bercerita, mula-mula suatu pagi dari bangun tidur di rumahnya, Gunung Kelud mengalami erupsi dan hujan abu. Dia menyebutnya gunung sedang batuk-batuk.


Dia tak bisa ke mana-mana dan hanya mengambil gambar di sekeliling rumah, di jalanan, dari sudut yang berbeda. Bersama teman-temannya, dia lalu mengadakan eksperimen film kecil-kecilan.


“Pemeran roh gunung itu juga teman saya. Ia minta saya merekam aksinya dan meng-
upload
-nya (mengunggah) di
Youtube.
Tadinya saya iyakan saja. Beginilah ilham datang dari sebuah bencana alam,” kata Wregas kepada
VIVA.co.id.


Dialog tanpa naskah dan canda-canda dalam film itu membikin banyak penonton tertawa sepanjang film diputar.


Lain dengan film
Onomastika
yang berkisah tentang seorang anak yang tak punya nama dan tak bersekolah. Ia tinggal bersama kakeknya yang selalu menolak memberinya nama.


Film itu diambil di sebuah daerah di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan menggunakan dialek bahasa setempat. Namun, pesan film itu bersifat universal. Penontonnya kebanyakan anak-anak berusia rata-rata sembilan tahun.


Loeloe, sang sutradara, mengatakan bahwa film yang dia buat memang bersifat universal sehingga dapat dimengerti semua kalangan penonton, bahkan anak-anak. “Film yang saya buat harus bisa ditonton oleh siapa pun, di mana pun, di dunia ini, apalagi mereka yang punya nama. Film saya berdekatan dengan situasi kemanusiaan di dunia ini.“


Film
Onomastika
diputar empat kali sepanjang festival berlangsung. Dalam pemutaran perdananya di Berlinale, tampak Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, Fauzi Bowo, dan sejumlah staf Kedutaan Besar RI hadir di antara penonton.


Wregas dan Loeloe datang ke Berlin dengan sponsor dari Berlinale dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka memanfaatkan ajang Berlinale untuk bertemu dengan sineas dari berbagai negara dan mencoba ikut dalam berbagai program yang ditawarkan, seperti Euro Project Market dan Berlin Co-Production.


Wregas telah membuat tiga film, yakni
Hanoman, Senyawa dan Lemantun.
Sedangkan Loeloe bertekad bahwa
Onomastika
bukan film terakhirnya. (One)



Baca berita lain:




Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya