"Masih Ada Asa", Cerita Perjuangan Korban Kekerasan Seksual

Film "Masih Ada Asa".
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Daru Waskita
VIVA.co.id -
Pemerintah Diminta Gencar Advokasi Korban Kekerasan Seksual
Banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia belum bisa diselesaikan dengan adil dan membawa keberpihakan bagi para korbannya. Fenomena kekerasan seksual di Indonesia pun masih seperti gunung es karena hanya ujungnya saja yang terlihat, padahal sebenarnya banyak korban yang bungkam atau sengaja dibungkam.

10 Tahun Perkosa Anak Kandung, Pria Ini Dijerat Hukuman Mati

Beberapa alasan mereka memilih tidak melapor di antaranya karena merasa tidak akan ada manfaatnya selain rasa malu, atau bahkan karena adanya ancaman sehingga memaksa para korban memilih untuk diam atas kekerasan seksual yang dialami.
Gadis Delapan Tahun Korban Pencabulan Trauma Berat


Berlatar belakang dari permasalahan tersebut maka diproduksilah film "Masih Ada Asa" yang menceritakan kisah Ati dan Ros, dua perempuan korban kekerasan seksual di antara ribuan perempuan korban lainnya yang berasal dari Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.


Ati yang menjadi Ketua OSIS semasa SMA terpaksa menjadi guru honorer dengan bayaran Rp270 ribu rupiah setelah diperkosa anggota DPRD Maumere. Sedangkan Ros terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta setelah diperkosa 11 teman sekolahnya.


Walau gelombang masa lalu pernah merenggut semua cita-citanya, namun keduanya terus berusaha melanjutkan hidup di tengah kesederhanaan, harapan dan tetap menolak lupa atas semua yang pernah mereka alami.


Yudha Kurniawan, selaku sutradara dalam film tersebut yang merupakan alumni dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2001, tersebut menjelaskan, film "Masih Ada Asa" bukan hanya menceritakan tentang harapan, tetapi juga keberanian untuk menuturkan kembali sebuah luka.


Menurutnya, film tersebut juga sekaligus sebagai pengingat bahwa di Maumere, Flores, dan juga daerah-daerah lainnya di Indonesia, ada ribuan perempuan korban kekerasan seksual yang hidupnya menjadi hancur.


"Cita-cita mereka mereka menjadi runtuh akibat dari kekerasan seksual yang mereka hadapi, banyak di antara mereka yang hingga kini masih menuntut ditegakkannya keadilan untuk mereka," katanya, Kamis 21 Mei 2015.


Sedangkan Caroline Monteiro selaku produser menyampaikan kesulitan pembuatan film ini karena dibutuhkan waktu 13 tahun untuk melakukan riset dan pendekatan dengan objek untuk membuat film ini karena berbagai faktor. Salah satunya yaitu diperlukan pendekatan yang lebih dalam terhadap korban, yang akan menjadi aktor utama dalam film ini.


"Pendekatan dan riset yang kami lakukan dalam memproduksi film ini sangat lama, hal tersebut dikarenakan berbagai kendala yang kami alami, salah satunya yaitu pendekatan kepada korban untuk menceritakan kisahnya yang menjadi halangan kami dalam memproduksi film dokumenter ini, dan syukurnya di tahun 2015 ini film ini sudah dapat kami
launching
dan diputar di berbagai daerah di Indonesia," ungkap Caroline.


Film dokumenter ini ditonton dan didiskusikan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMY pada Rabu 20 Mei 2015 malam bertempat di Ruang Multimedia Jurusan Ilmu Komunikasi. Secara umum, civitas akademika UMY memberikan apresiasi dan respons yang positif.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya