Tradisi Tenun Kutai Barat Diajarkan Tanpa Buku

Kain Kalimantan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Rintan Puspitasari

VIVA – Menyebut keistimewaan Indonesia seakan tidak ada habisnya. Ada begitu banyak pesona yang dimiliki negeri ini. Keragaman budaya, tradisi, kekayaan alam yang ada di dalamnya mampu membuat siapa pun yang bersentuhan jatuh cinta dibuatnya. 

Utang Luar Negeri RI Februari 2024 Naik Jadi US$407,3 MIliar, Ini Penyebabnya

Begitu juga dengan kain. Indonesia tak hanya memiliki batik yang telah mendunia, kain tenun juga menjadi ciri khas Indonesia yang tidak bisa diabaikan. Beberapa daerah menghasilkan tenun dengan corak khasnya masing-masing, seperti di daerah Kutai Barat yang selama ini kurang begitu terekspos meski memiliki ragam kain yang tak kalah indah. 

Lewat acara bertajuk The Beauty of West Kutai, masyarakat dan para pecinta mode diajak untuk melihat keindahan alam Kutai Barat lewat balutan busana modern karya desainer kenamaan Indonesia, Billy Tjong. 

Inggris, AS Berikan Sanksi pada Tokoh Militer Terkemuka Iran Usai Serangan Terhadap Israel

Peragaan 20 lebih busana koleksi Billy Tjong dan beberapa di antara koleksinya berkolaborasi dengan MADEIND mengukuhkan bahwa tenun Kutai Barat sangat bisa menjadi pakaian sehari-hari hingga pakaian pesta yang tak kalah apik dengan pakaian lain. 

"Tenun Doyo pakaian khas Kutai Barat, khususnya Dayak benua. Dulu belum bisa membeli kain, jadi ambil serat Doyo untuk pakaian. Selama ini (digunakan) untuk acara tertentu, seperti acara adat. Dengan berjalannya waktu, kita berusaha supaya tenun Doyo bisa dipakai siapa saja dan acara apa saja," kata Ketua Dekranasda Kutai Barat, Yayuk Seri Rahayu, dalam jumpa pers yang digelar di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2018.

Sempat Membaik Sebelum Meninggal, Kondisi Ibu Angger Dimas Drop Lagi Sejak Kematian Dante

Uniknya, tradisi menenun dan menyulam masyarakat Kutai Barat tidak pernah luntur bahkan di tengah modernisasi. Mereka masih setia mengajarkan ilmu tersebut turun temurun, bahkan meski tanpa buku warisan tertulis. Semua hanya dipelajari dengan mengamati pendahulu mereka. 

"Diajarkan turun temurun, sudah tujuh generasi, bahkan ini masuk Muatan Lokal (mata pelajaran) di sekolah," kata perajin tenun Doyo dan sulam Tumpar 'Bawe Telaur', Siti Hapidah yang membawa beberapa koleksinya ke Jakarta. 

Dari Siti Hapidah juga diketahui bahwa corak pada kain tenun Doyo dan sulam Tumpar sebenarnya dibedakan bagi kalangan bangsawan dan rakyat biasa. Seperti corak burung merak, naga untuk kalangan bangsawan, sementara corak ayam, ikan, dan tumbuhan seperti anggrek untuk rakyat biasa.

Meski berbeda-beda, tapi ada tiga warna utama yang selalu ada dalam motif tersebut, yaitu hijau, kuning, merah dan hitam. Di mana masing-masing memiliki makna mendalam. Seperti warna hijau yang menggambarkan luasnya alam Kalimantan warna merah menjadi penanda keberanian khas orang Dayak, Kuning sebagai penanda keturunan bangsawan, dan hitam untuk menjauhi kegelapan. 

Bupati Kutai Barat, FX. Yapan, S.H, yang turut hadir dalam acara mengatakan bahwa selain batu bara, pemerintah Kutai ingin agar ekonomi kreatif seperti tenun dan sulam ini dikembangkan untuk bisa meningkatkan ekonomi kerakyatan. 

"Selama ini daerah kita tergantung pada batu bara, tapi pengaruh teknologi global, kita berharap ekonomi kreatif dikembangkan. Harapan kami melalui acara ini bisa meningkatkan ekonomi kerakyatan," tuturnya. 

Dari buku Tenun Doyo dan Sulam Tumpar karya Syahmedi Dean yang resmi diluncurkan bersama dengan acara ini, diketahui bahwa kain Tenun Doyo termasuk dalam wastra jenis tenun ikat, ditenun dari benang yang berasal dari daun tumbuhan doyo. Tumbuhan gulma sejenis pandan yang tumbuh bebas di tepi-tepi hutan. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya