Merdunya Biola Bambu dari Gunung Muria

Ngatmin dan biola bambunya.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA – Alunan merdu suara biola sayup-sayup terdengar dari sebuah rumah sederhana di lereng Gunung Muria, Kabupaten Kudus. Lengkingan suara yang cukup menyayat hati itu rupanya berasal dari tangan sesosok pria bertubuh kecil dan jangkung. Ngatmin namanya.

Ekspansi Perusahaan Musik Terkemuka Asia Tenggara Diresmikan di Indonesia

Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Mbah Min. Pria berusia 40 tahun itu tak hanya lihai memainkan alat musik gesek, tapi banyak dikenal sebagai perajin alat musik biola sejak beberapa tahun silam. Bukan biola biasa. Mbah Min merupakan penemu biola dari bambu, khas Gunung Muria.

Di rumah sederhana, tepatnya di desa Japan RT 4 RW 3, Mbah Min menyulap potongan-potongan bambu menjadi alat musik level atas. Pekerjaan membuat biola bambu telah dilakukannya sejak 2012 silam.

Menguak Sejarah dan Penyebab Selat Muria yang Hilang

"Tahun 2012 silam saya hijrah dari Bogor ke Kudus di kampung halaman saya. Saya berpikir untuk membuat biola bambu, karena biasanya bambu tidak memiliki nilai jual tinggi," kata Ngatmin kepada VIVA, Rabu, 4 April 2018.

Keahlian membuat biola bambu, kata dia, tak serta merta didapat dengan mudah. Sebagai pria yang hanya lulus Sekolah Dasar (SD), Ngatmin rupanya menimba ilmu ukir saat bekerja puluhan tahun di Jepara. Sedangkan ilmu musik, khususnya biola didapat saat dirinya bekerja di Bogor.

Terkuak Alasan Banjir Demak Kerap Dikaitkan dengan Selat Muria

"Biola bambu menurut saya khas karena suaranya lebih nyaring. Saya bercermin dari alat musik seruling dan angklung yang suaranya nyaring dan melengking," katanya.

Untuk membuat biola bambu pun tak mudah. Ia harus memilih bahan bambu petung dengan usia 10 tahun yang tumbuh di daerah dengan ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Bambu petung itu kemudian dipotong dan dikeringkan antara 5-6 bulan. Proses itu sangat penting karena mempengaruhi faktor suara.

"Nah di daerah Muria ini bambu petung kualitasnya bagus karena di daerah pegunungan, " ujarnya.

Ia menjelaskan, bambu kemudian dipotong dengan ukuran kerangka biola. Kerangka ini dibuat seperti halnya melakukan pekerjaan ukir dengan tingkat kerapian dan kehalusan bahan.

Satu lagi, biola karya Ngatmin pun berbeda dengan biola pada umumnya. Ia menambah kepala biola dengan ukiran khas gambar wayang, garuda, kuda yang sesuai selera konsumen. Wadah biola juga dibuat khusus dengan lapisan batik tulis Kudus.

Dengan ketelitian pembuatannya, biola bambu Ngatmin ternyata laris di pasaran. Peminatnya datang dari Bali, Kalimantan, Batam, Jakarta hingga Semarang. Harga yang ditawarkan pun cukup bervariasi antara Rp1 juta hingga Rp4 juta, tergantung suara dan kualitas biola yang dibuat.

"Satu bulan bisa terjual hingga lima buah tergantung permintaan. Saya juga bisa berdayakan empat pekerja penduduk desa," ucap dia.

Ke depan, Ngatmin berharap biola bambu karyanya bisa lebih mendunia. Paling tidak, biola khas negeri sendiri mampu menembus pasar luar negeri karena selama ini, biola didominasi produk asal China.

"Maka saya kasih ukiran dan batik untuk mengimbangi itu agar khas Indonesia. Harapan saya biola bisa lebih memasyarakat, karena selama ini biola hanya dinikmati oleh masyarakat menengah atas. Paling tidak dinas  terkait bisa menerapkan subsidi ke sekolah-sekolah, " ujar bapak bapak tiga anak ini.

Saat ini produk biola bambu khas lereng Muria ini rutin mengikuti pameran di tingkat daerah hingga nasional. Pemasarannya juga dilakukan rutin dengan mengunggah di media sosial, dengan akun @mbahminbiolabambu di Instagram. Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Jawa Tengah juga terus melakukan pendampingan untuk mengangkat alat musik karya anak bangsa itu. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya