Budaya Mundur Jabatan di Jepang, Mending Mati Harakiri Dibanding Malu

Budaya mundur dari jabatan di Jepang
Sumber :
  • marlerblog

VIVA – Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, mengundurkan diri dari posisinya sebagai Perdana Menteri pada Jumat 28 Agustus 2020. Ya, di Negeri Sakura, mundur dari sebuah jabatan menjadi hal yang lumrah bahkan dianggap sebagai langkah terakhir menjaga 'kehormatan' sebagai pemimpin. Hal yang jarang dilakukan pemimpin di Indonesia.

Sastra: Media Propaganda Penjajah

Alasan Shinzo Abe mundur memang lebih terhormat dibandingkan pendahulunya. Penyakit Kolitis Ulseratif kembali menyerang Abe sehingga ia memilih mundur. Sebelumnya, Abe juga pernah memutuskan mundur sebelum akhirnya kembali menjadi Perdana Menteri Jepang lagi pada 2012.

Namun jika mengintip para pendahulunya, banyak jabatan mereka yang seumur jagung. Hal itu bisa dilihat dari rata-rata perdana menteri di Jepang hanya memangku jabatan sekitar 200-an hari. Dan sosok Abe yang tercatat dalam sejarah mampu bertahan sangat lama. 

Fakta Mengerikan Atlet Bulutangkis Jepang di German Open

Baca juga: Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang Terlama yang Mundur Demi Rakyat

Banyak sebab yang membuat orang-orang penting di Jepang memutuskan mundur, tanpa harus diminta. Jika Shinzo Abe mundur karena masalah kesehatan, tak sedikit orang-orang penting di Jepang yang mundur dalam sejarah karena dianggap gagal memenuhi janji hingga terbelit skandal.

Giliran Jepang Jatuhkan Sanksi ke Rusia, Pembekuan Aset Dilakukan

Budaya yang biasanya disertai dengan gerakan membungkuk sebagai permintaan maaf yang mendalam ini memang seakan menjadi ciri khas negara Matahari tersebut. Sebelum Shinzo Abe, tak terhitung pejabat, politisi, hingga pemimpin perusahaan yang memutuskan mundur.

Jika ditelusuri dari sejarah, budaya mundur dari jabatan ini tentu mengarah pada budaya malu yang memang telah tertanam di tengah masyarakat Jepang. Dan jika lebih dalam ditelusuri, budaya malu ini tentu berkaitan erat dengan tradisi harakiri, menusuk perut sendiri dengan belati.

Singkatnya, di Jepang lebih baik mati dibanding harus menanggung malu sepanjang hidupnya. Terlalu sadis mungkin jika harus menempuh 'jalan kematian' dengan ritual harakiri. Sehingga mundur dari jabatan dianggap lebih 'berperikemanusiaan' untuk tetap menjaga kehormatan.

Ilustrasi ritual harakiri

Mengenal Budaya Harakiri

Ada yang menyebutknya dengan ritual Seppuku. Harakiri sendiri diambil dari dua suku kata Hara dan Kiru. Hara berarti perut, Kiru berarti menusuk. Budaya 'bunuh diri' ini dipopulerkan para kstaria atau Bushido di Jepang atau yang selama ini dikenal dengan kaum samurai.

Dihimpun dari berbagai sumber, budaya ini sudah dilakukan di Jepang sejak abad ke-12. Meski sejak tahun 1868, tradisi ini mulai dilarang di Jepang namun tak sedikit yang masih memegang teguh budaya ini. Paling tidak, hingga saat ini budaya malu masih dipegang teguh di Jepang.

Harakiri bukanlah sekedar bunuh diri saja. Layaknya akan menggelar pesta perkawinan, harakiri juga perlu persiapan. Bahkan berbulan-bulan persiapannya. Termasuk dengan menunjuk algojo yang disebut Kaishaku-Nin yang bertugas memenggal kepala setelah aksi sobek perut dilakukan.

Sedangkan pisau yang digunakan untuk Harakiri disebut Wakizazhi atau Tanto. Pisau tajam yang berukuran 30 sampai dengan 60 sentimeter (cm). Dalam ritualnya, pisau ini diletakkan di lantai dengan dibungkus kertas atau kain putih. 

Pisau tersebut ditusukan keperut (6 cm di bawah pusar) yang disebut Tanden. Menurut ajaran Zen, posisi itu menjadi pusatnya Chi atau jiwa manusia. Setelah menusuk perutnya, pelaku Harakiri akan menggerakkan pisaunya ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah hingga ususnya terburai. Baru sang algojo menjalankan tugasnya untuk mempercepat proses kematian.

Yang tak kalah menarik, seseorang yang melakukan harakiri juga dilarang mengeluh, menggerang, mengaduh ataupun memperlihatkan wajah nyeri ataupun takut apalagi mohon ampun. Ia harus mati dengan tabah dan gagah laiaknya seorang ksatria Jepang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya