Bolehkah Ibu Hamil Tidak Berpuasa? Begini Pandangan Islam

Ilustrasi hamil/ibu hamil.
Sumber :
  • Freepik/user18526052

VIVA Lifestyle – Umat Muslim sudah mulai menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1444H. Menjalani ibadah puasa, tidak sedikit dari kita yang masih bertanya-tanya tentang puasa bagi kelompok tertentu salah satunya adalah ibu hamil.

Jangan Asal Pilih, 5 Tips Ini Harus Diperhatikan Muslimah Saat Memilih Kosmetik Halal

Banyak pendapat menyebut bahwa ibu hamil boleh tidak berpuasa. Namun bagaimana pandangan Islam terkait ibu hamil dan puasa Ramadhan? Yuk, scroll untuk mengetahui jawabannya.

Melansir laman NU Online, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember, Ustadz M. Ali Zainal Abidin, menjelaskan bahwa perempuan yang sedang hamil memiliki ketentuan yang sama dengan orang yang sakit dalam hal boleh-tidaknya meninggalkan puasa. 

5 Minuman Alami Bantu Atasi Radang Tenggorokan Selama Puasa

Tidak selamanya perempuan hamil wajib berpuasa dan juga tidak selamanya perempuan hamil boleh meninggalkan kewajiban puasanya. Hal ini tergantung pada kondisi kesehatan dari perempuan tersebut dan dugaan kuat akan dampak buruk yang bakal terjadi.

Jadwal Imsakiyah, Waktu Sholat dan Buka Puasa di Seluruh Indonesia Jumat, 29 Maret 2024

Ibu hamil secara umum memiliki tiga keadaan yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda terkait wajib-tidaknya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Tiga keadaan ini secara ringkas dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain:  
  
“Bagi orang sakit  terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa. Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah.”

Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat” (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, hal. 367)   

Maksud dari bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum adalah sekiranya dengan berpuasa sakit yang sedang menjangkit akan bertambah lama sembuhnya atau menjadi semakin parah. Hal demikian seperti disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami:   

“Sekiranya dengan berpuasa akan terasa berat bagi orang yang sakit atau khawatir sebab puasa sakitnya akan bertambah parah, lama sembuh atau hal-hal lainnya yang dapat memperbolehkan bertayamum, berpijak pada pendapat Syaikhaini. Dikutip dalam kitab al-Majmu’ dari Ashab sekiranya seseorang akan merasa payah (lemas) dengan berpuasa dalam kondisi sakit lalu menimpa padanya bahaya yang berat ia menanggungnya, atas penjelasan yang telah aku sebutkan berupa berbagai macam bahaya dalam tayamum” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2, Hal. 62)

Ilustrasi ibu hamil

Photo :
  • pixabay

Sedangkan dalam konteks wanita hamil, tatkala dalam kondisi diperbolehkan tidak puasa, maka terkait kewajiban mengganti puasanya terdapat dua perincian. 

Pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi fisiknya atau khawatir kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya, maka dalam dua keadaan tersebut ia hanya diwajibkan mengqadha’i puasanya saja. 

Kedua, ketika ia hanya khawatir pada kondisi kandungannya, dalam keadaan demikian ia berkewajiban mengqadha’i puasanya sekaligus membayar fidyah. 

Mengenai dua perincian ini, dalam Hasyiyah al-Qulyubi dijelaskan:

“Perempuan hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit.”

Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-Adzhar” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, hal. 76).

Ilustrasi hamil/ibu hamil/USG.

Photo :
  • Freepik/tirachardz

Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan khawatir terhadap kondisi kandungan jika tetap berpuasa, adalah kekhawatiran akan gugurnya kandungan jika ia tetap melaksanakan puasa sampai selesai, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:  

“Yang dimaksud dengan ‘khawatir pada kandungan’ adalah khawatir gugurnya kandungan (apabila melanjutkan puasa) bagi orang yang sedang hamil” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 273).  

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum asal melaksanakan puasa bagi perempuan hamil adalah wajib. Namun kewajiban ini akan gugur tatkala ia memiliki dugaan (wahm) bahwa jika ia tetap berpuasa maka akan membahayakan terhadap kesehatannya, seperti akan bertambah sakit atau fisiknya akan drop. 

Bahkan bila sampai pada keyakinan atau dugaan kuat akan membahayakan fisik sang ibu dan keselamatan janin, ia wajib tidak berpuasa demi menjaga nyawa manusia (hifdh an-nafs). Karena menentukan hal-hal di atas penuh perhitungan yang sangat tepat, maka sebaiknya perempuan hamil tidak mengira-ngirakan sendiri tentang kondisi kesehatan fisiknya dan kesehatan kandungannya, melainkan meminta bantuan kepada dokter kandungan Muslim (bidan) yang mampu memperhitungkan apakah yang maslahat baginya adalah berpuasa atau tidak. 

Jika menurut dokter kandungan, puasa tidak mengganggu terhadap kesehatan fisiknya dan kandungannya maka tetap wajib baginya untuk berpuasa dan sebaliknya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya