Sri Hartini, Penjaga Hutan yang Dibayar Rp50 Ribu Per Bulan

Sri Hartini, petugas jagawana Hutan Wonosadi, Yogyakarta.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita

VIVA.co.id – Usianya sudah 48 tahun. Penghasilannya hanya Rp50 ribu per bulan. Dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Tapi, semua itu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya menjadi seorang jagawana, atau penjaga hutan.

Kepemimpinan Perempuan di BUMN dan Cara BKI Lanjutkan Semangat Kartini

Adalah Sri Hartini. Seorang ibu rumah tangga warga Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta. Sri setia menjaga Hutan Wonosadi, yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya.

"Sudah sejak 2009 saya menjadi petugas jagawana," kata Sri di Yogyakarta, Jumat, 21 April 2017.

Harmoni Energi Sehat Menyuarakan Pesan Kesetaraan dalam Pelayanan Kesehatan

Hutan Wonosadi sendiri memiliki luas hampir 25 hektare dan setiap hari tidak pernah tidak terjamah oleh Sri Hartini. Hutan itu dianggap Sri sebagai rumah bagi segala macam flora dan fauna yang dilindungi, serta berfungsi menyimpan air untuk sumber kehidupan dan penghidupan bagi ratusan keluarga di wilayah dua dusun di Desa Beji.

"Setiap hari saya bersihkan dan merawat hutan agar tetap terjaga," ujar Sri.

Terpopuler: 5 Minuman Hambat Penurunan Berat Badan, 100 Wanita Rayakan Hari Kartini di Puncak Gunung

Meski mengakui profesinya lebih cocok dilakukan kaum pria, namun ia tetap menjadi jagawana karena pesan sang ayah sebelum meninggal dunia. Mendiang ayah juga berprofesi sebagai jagawana.

"Bapak saya sebelum meninggal berpesan, 'janganlah meninggalkan air mata, tetapi tinggalkanlah mata air'. Pesan itu membekas hingga saya tetap bertahan sebagai jagawana," ucapnya.

Sri mengatakan, pada 1966 lalu, kondisi Hutan Wonosadi jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Penggundulan terjadi di mana-mana. Bencana tanah longsor kerap terjadi. Sumber mata air yang menghilang menyebabkan kekeringan di Desa Beji, sehingga hewan kehilangan habitat tinggalnya.

Namun, berkat kerja keras almarhum ayahnya, Sudiono, hutan tersebut kembali subur. Pepohonan tumbuh subur di sekitar Gunung Gambar dan membuat Hutan Wonosadi rindang. Empat mata air yang semula hilang kini memancar deras mengaliri lahan pertanian di seluruh wilayah Padukuhan.

"Hutan yang semula gundul kini rimbun kembali. Mata air kembali muncul. Wilayah yang dulu kekeringan menjadi subur, dan kini petani dapat menanam padi dua kali setahun. Warga dapat tercukupi kebutuhan akan air," tuturnya.

Sampai akhirnya, kerja keras Sri serta ayahnya membuahkan hasil. Hutan Wonosadi terpilih menjadi kawasan percontohan pengelolaan hutan rakyat dan memenangkan penghargaan Kehati, tingkat nasional dan kader lingkungan hidup.

"Saya mengambil semangat tanpa pamrih dari bapak. Dari tahun 1966 bekerja tanpa mengharapkan upah apa pun. Semuanya karena keikhlasan. Demi masa depan anak cucu kita nanti," ucap Sri.

Kendati sibuk sebagai jagawana, Sri tidak melupakan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dia pernah mengajar PAUD dengan upah yang tak seberapa, demi tumpuan hidup keluarganya. Selain itu ada usaha kecil-kecilan di rumah.

"Jagawana upahnya hanya Rp50 ribu per bulan. Semua atas dasar kerelaan sendiri. Satu-satunya keuntungan menjadi penjaga hutan, kalau mencari surat di Pemerintah Desa tidak membayar administrasi," katanya.

Meski usianya kini hampir setengah abad, Sri mengaku selagi fisiknya masih kuat, ia akan tetap mengabdi, menjadi jagawana. Menjaga dan melestarikan hutan sampai raganya tak mampu lagi berkarya.

"Sampai sudah tak kuat, baru saya berhenti sebagai jagawana," ucapnya sambil tersenyum. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya