Tak Efisien Sembuhkan Kanker Jadi Alasan BPJS Cabut Trastuzumab

Ilustrasi kanker payudara.
Sumber :
  • Pixabay/pexels

VIVA – Obat untuk terapi kanker payudara dengan jenis Her2 positif diputuskan untuk tidak lagi masuk dalam jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Keputusan ini, menurut Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief, sudah berdasarkan hasil diskusi dan penelitian.

Informal Workers Receive Social Security Assistance from Radjak Hospital Salemba

"Kami sudah persiapkan berkas, dokumen yang mendukung keputusan bahwa trastuzumab sudah tidak dicantumkan," ujar Budi saat temu media di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin, 30 Juli 2018.

Budi juga membantah jika harga trastuzumab yang tergolong mahal menjadi satu-satunya alasan obat ini dicabut dari BPJS. Namun, pencabutan itu salah satu alasan utamanya adalah karena tidak ada lagi efek terapi pada kanker yang sudah pada tahap metastase atau menyebar.

Tinjau RSUD Sibuhuan, Jokowi Pastikan Pelayanan Kesehatan Optimal

“Kalau harga murah tapi tidak memberikan efek terapi, sama saja. Kita melihat kemanfaatannya seperti apa," kata Budi menegaskan.

Sebelum diputuskan untuk mencabut trastuzumab, beberapa hasil penelitian sudah diperlihatkan secara khusus bahwa terapi trastuzumab pada pasien Her2 positif tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Untuk itulah, trastuzumab dicabut. Tapi, Budi meyakinkan bahwa masih ada pilihan lain obat kanker sebagai alternatif dari trastuzumab.

Angka Kasus Penyakit Ginjal Makin Meningkat, Sedot Dana BPJS Hingga Rp2,9 T

Budi juga menambahkan bahwa pemberian biaya untuk pengobatan disesuaikan dengan kemampuan BPJS Kesehatan yang mengarah pada mutu. Selain itu, keputusan ini juga merujuk pada keputusan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) yang menetapkan bahwa pasien kanker metastase yang diberikan trastuzumab tidak memberikan efek medis bermakna.

"Kenapa kita harus memberikan sesuatu kalau ahlinya mengatakan sudah tidak memberikan efek medis. Kebetulan harganya mahal, itu bisa juga jadi efisiensi," kata Budi.

Sekali lagi Budi menegaskan bahwa prinsip dalam memberikan pembiayaan obat adalah apabila secara kualitas memberikan kesehatan. Kalau tidak, hanya akan menimbulkan biaya yang tinggi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya