Isu Kesehatan 2018, Polemik Halal Vaksin MR Hingga Virus JE

Vaksin Campak dan Rubella (MR).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ampelsa

VIVA – Berbagai isu kesehatan di tahun 2018 tak ada habisnya. Banyak permasalahan kesehatan yang terus menjadi polemik hingga penyebaran virus yang tak kunjung usai.

WHO: Imunisasi Global Menyelamatkan 154 Juta Jiwa Selama 50 Tahun Terakhir

Berikut deretan kasus kesehatan yang begitu menyita perhatian di sepanjang tahun 2018 yang berhasil VIVA rangkum, Rabu 26 Desember 2018.

1. Polemik halal vaksin MR tahap II

Pasien Imunodefisiensi Primer Minta Pemerintah Masukkan Terapi IDP ke dalam Formularium Nasional

Di awal tahun 2018, imbauan vaksin measles rubela dari Kementerian Kesehatan RI mulai diberikan pada masyarakat mulai dari Agùstus hingga September 2018. Imbauan tersebut untuk mencegah penularan campak dan Campak Jerman yang memberi dampak berbahaya jika menjangkiti masyarakat.

Data Kementerian Kesehatan selama tahun 2010-2017 mencatat sejumlah 27.834 kasus Campak dilaporkan. Sayangnya, vaksin MR tersebut dinyatakan haram. Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi merilis Fatwa Nomor 33 tahun 2018 bahwa vaksin MR positif mengandung babi.

5 Syarat Kucing Peliharaanmu Sudah Bisa Divaksin Biar Tetap Sehat

Namun para ulama sepakat untuk membolehkan (mubah) penggunaan vaksin MR yang merupakan produk dari Serum Institute of India (SII) untuk program imunisasi saat ini, dan tertuang dalam fatwa Nomor 33 tahun 2018. Sementara itu meskipun kontroversi, Menkes Nila Moeloek menyatakan bahwa imunisasi tetap harus dijalankan untuk menghindarkan anak-anak dari ancaman MR. 

Berdasarkan data yang dipublikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia. Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah kasus Campak dan Rubella yang ada di Indonesia sangat banyak dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Adapun jumlah total kasus suspek Campak-Rubella yang dilaporkan antara tahun 2014 s.d Juli 2018 tercatat sebanyak 57.056 kasus (8.964 positif Campak dan 5.737 positif Rubella).

2. Vaksin MR tetap dilanjutkan hingga Oktober 2018

Kementerian Kesehatan memberikan kesempatan bagi seluruh provinsi untuk melanjutkan pemberian layanan imunisasi Measles Rubella (MR) sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018. Hal ini dikarenakan cakupan imunisasi yang masih di bawah target.

Berdasarkan data laporan provinsi kepada Kemenkes RI sampai dengan tanggal 24 September 2018 pukul 18.00 WIB, secara nasional, rata-rata cakupan pemberian imunisasi MR kini mencapai 51.05 persen masih jauh di bawah target yang diharapkan yakni 95 persen dari seluruh sasaran. Hingga saat ini, provinsi dengan cakupan imunisasi tertinggi adalah Papua Barat (91.83 persen) dan Bali (87.47 persen). 

Beberapa provinsi yang hingga saat ini capaian imunisasinya masih berada di bawah rata-rata nasional, antara lain Aceh (4.94 persen), Riau (26.70 persen), Sumatera Barat (27.30 persen), Nusa Tenggara Barat (37.47 persen), Kalimantan Selatan (38.61 persen), Sumatera Utara (39.50 persen), Bangka Belitung (40.64 persen), Kepulauan Riau (43.31 persen), Kalimantan Utara (49.51 persen), dan Sumatera Selatan (50.76 persen).

3. Penyakit pasca bencana

Palu mengalami dua tipe bencana, yaitu gempa bumi dan tsunami. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Anung Sugihatono mengatakan, untuk gempa bumi yang harus diwaspadai pada masa tanggap darurat adalah hal-hal yang berkaitan dengan tetanus.

“Yang paling rawan di masa tanggap darurat adalah tetanus, karena melihat sebagian besar rumah roboh, orang luka, perawatan luka yang belum ideal karena keterbatasan-keterbatasan yang ada. Tetanus menjadi satu ancaman yang cukup tinggi,” jelas dr. Anung, dikutip dari siaran pers Kemenkes RI, Jumat 5 Oktober 2018.

Bencana kedua adalah tsunami yang sebagian besar merusak fasilitas umum, berkaitan dengan air bersih. 

“Tentu air bersihnya jadi tercemar. Yang perlu kita waspadai adalah hal-hal yang berkaitan dengan infeksi saluran pencernaan, diare dan tentunya kontaminasi dari berbagai hal. Kita juga belum bisa menghindari kolera. Kita belum bisa menyatakan bebas kolera karena masih banyak fasilitas yang digunakan oleh masyarakat yang tidak higienis dan di situ ada kuman kolera,” tambah dr. Anung.

Menurut dr. Anung, setelah masa tanggap darurat yang perlu diwaspadai adalah penyakit infeksi saluran pernapasan atas terutama untuk Balita karena pada saat melakukan evakuasi dan kemudian membersihkan puing-puing, akan ada kemungkinan debu yang cukup banyak.

Selanjutnya yang juga perlu menjadi kewaspadaan adalah timbulnya penyakit-penyakit yang berkaitan dengan higiene sanitasi, seperti gatal, infeksi pada kulit, dan hal-hal lain termasuk infeksi pada mata.

4. Kisruh BPJS

Persoalan kesehatan yangtak kalah pelik terjadi sepanjang 2018 ini adalah kisruh soal BPJS Kesehatan. Diawali dengan banyakya keluhan masyarakat soal pelayanan. Tak cuma dari pasien, tenaga kesehatan hingga fasilitas kesehatan yang terlibat dalam program itu pun merasakan dampaknya. 

Mendapat banyak keluhan, BPJS Kesehatan sebagai lembaga nonprofit akhirnya buka suara. Mereka mengaku mengalami kondisi keuangan 'besar pasak daripada tiang'. BPJS menderita defisit alias rugi hingga Rp9,75 triliun sepanjang tahun 2017 lalu. Dengan pendapatan sebesar Rp74,25 triliun yang didapat dari iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), total pengeluarannya justru mencapai Rp84 triliun.

Biang keladinya, karena hitungan iuran dan aktuaria tidak seimbang dengan pengeluaran. Itu yang dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada tahun 2017 lalu. Misal, iuran masyarakat untuk kelas III senilai Rp25.500 per bulan, namun hitungan aktuarianya mencapai Rp53 ribu, sehingga ada selisih kurang sekitar Rp27.500.

Dengan makin bertambahnya jumlah masyarakat yang memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk berobat, namun tak diimbangi dengan pertambahan jumlah peserta BPJS maka akumulasi kekurangan tersebut menjadi sangat besar. Untuk mengurangi defisit, akhirnya dikeluarkan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel) terbaru. Menteri Kesehatan Nila Moeloek pun tak menapik bahwa peraturan baru itu dibuat lantaran defisitnya anggaran BPJS Kesehatan.

Regulasi yang dimaksud terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat dan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Namun regulasi itu justru memicu kontroversi di kalangan pemangku kepentingan lantaran dianggap merugikan pasien BPJS.

Banyaknya masalah yang membelit BPJS, membuat banyak pihak yang dirugikan berusaha mencari solusinya. Bahkan, demi menambal defisit anggaran BPJS, pemerintah akhirnya turun tangan. Presiden Jokowi telah menyetujui pencairan dana Rp4,9 triliun untuk membantu BPJS.

Tak hanya itu, Kementerian Keuangan juga menyiapkan sejumlah alternatif pendanaan yang bisa digunakan sepenuhnya untuk menutupi defisit. Adapun defisit anggaran BPJS Kesehatan tahun ini diperkirakan membengkak menjadi Rp11,2 triliun dari Rp9,75 triliun pada tahun lalu.

5. Virus JE

Kemenkes menyesalkan terjadinya kesalahan informasi tentang situasi penyakit japanese encephalitis (JE) di Indonesia khususnya Bali, sebagaimana diberitakan oleh beberapa media asing Australia.

“Tidak benar jika diberitakan terjadi lonjakan kasus atau bahkan outbreak JE di Bali. Sepanjang tahun 2018, hanya ditemukan 1 kasus JE pada bulan Januari tanpa kematian,” kata Direktur Surveilan dan Karantina Kesehatan Vensya Sitohang dikutip dari siaran pers Kemenkes RI, Senin 12 November 2018.

Penyakit JE adalah penyakit radang otak yang disebabkan oleh virus japanese encephalitis yang disebarkan oleh vektor nyamuk culex. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi. Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim hujan.

Pelaksanaan vaksinasi JE di Bali pada bulan April 2018 lalu merupakan ‘kampanye imunisasi JE’ khusus di Bali karena merupakan daerah endemis JE. Cakupan project tersebut mencapai 100 persen.

Selanjutnya imunisasi JE di Bali sudah masuk imunisasi rutin yang sasarannya adalah seluruh bayi usia 10 bulan di provinsi Bali. Hingga saat ini, belum ada obat untuk mengatasi infeksi JE, pengobatan yang ada bersifat suportif untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE. (ben)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya