Modus Baru Pemerasan: Jadi Pelakor

Ilustrasi selingkuh.
Sumber :
  • Pixabay/Tumisu

VIVA – Istilah pelakor atau perebut laki (suami) orang belakang ini tengah tren. Sejumlah kasus yang melibatkan publik figur, pejabat juga tengah disorot karena rela cerai dan meninggalkan keluarga serta anaknya demi hidup bersama dengan wanita baru.

Geger Kisah Seorang Wanita Bercinta dan Nikah dengan Arwah Tentara

Namun, diketahui ternyata ada sebagian pelakor yang punya maksud di balik itu, yakni hanya untuk kebutuhan materi. Psikolog Tika Bisono mengatakan, hadirnya orang ketiga bahkan beraroma kriminal.

“Ini berbeda sama sekali dengan kehadiran orang ketiga karena hati. Sebagai konsultan, saya bisa dengan mudah menebak, kehadiran orang ketiga yang didasarkan pada hati, sejatinya cermin bahwa kehidupan berumah-tangganya ada masalah. Sedangkan kehadiran orang ketiga dengan motif kriminal, solusinya hanya satu yakni laporkan ke polisi. Itu tidak sulit sama sekali karena ada deliknya,” ujar Tika di Jakarta, Minggu 13 Januari 2019

Dituding Jadi Selingkuhan Kurnia Meiga, Presenter Sheila Purnama Buka Suara

Tika menilai, menjerat laki-laki beristri masuk perangkap, lalu menjadikannya objek pemerasan atas nama orang ketiga adalah salah satu modus operandi yang berkembang di tengah masyarakat.

Psikolog Tika Bisono

Polisi Periksa Amy BJ WNA Korea yang Laporkan Tisya Erni Hari Ini

Korbannya, menurut Tika, umumnya adalah pria mapan. “Ia bisa pengusaha, pejabat atau profesi mapan lain yang sangat mementingkan reputasi. Jika berhasil masuk perangkap, tipe-tipe pria mapan ini sangat rentan jadi objek pemerasan. Karena itulah polisi harus masuk dan masyarakat harus tahu,” kata Tika.

Tindakan tegas aparat kepolisian terhadap praktik pemerasan dengan modus menjadi orang ketiga, diharapkan bisa menjadi efek jera bagi pelaku, dan early warning bagi para pria mapan.

“Karena itu, banyak orang yang menjadi korban wanita berkedok orang ketiga, tetapi tidak mau men-disclose. Alasan yang mereka kemukakan adalah pertimbangan pendek. Biasanya menghindari aib, atau khawatir mempengaruhi karier. Itu pertimbangan keliru,” ucap ibu tiga orang anak itu.

Siapa pun yang terlibat dengan persoalan orang ketiga, kata dia, harus mengutamakan pertimbangan keselamatan jangka panjang untuk mengakhirinya.

“Rasa malu, aib, bahkan karier menjadi tidak penting jika dibandingkan keselamatan keluarga ke depan,” ucap dia.

Tika menegaskan pentingnya berkonsultasi ke pakar psikologi perkawinan. Tujuannya untuk kembali ke rambu-rambu. Ia mengibaratkan kegiatan menekan tombol reset pada tuts computer.

“Di sinilah fase ujian kesuamian dan keistrian sebuah pasangan. Apakah istri bisa menerima suami ketika lemah. Atau, apakah suami bisa menerima istri saat lemah,” kata dosen psikologi Universitas Mercu Buana itu.

Di fase konsultasi, keduanya harus jujur, dan jujur itu adalah bagian terberat. “Jangan berlindung di balik dalih dikerjain, dikejar-kejar, tetapi faktanya setelah makan malam pertama, masih ada makan malam kedua, ketiga, bahkan kemudian sarapan dan makan siang. Atau dengan kata lain, tidak mungkin pihak luar bisa membuka pintu pribadi kita, kalau tidak dikasih kunci. Itu logika,” kata Tika.

Berdasar teori psikologi, maupun berdasar pengalaman Tika sebagai psikolog, fase konseling pasangan yang usai didera persoalan orang ketiga, harus dibawa ke pemahaman it takes two to tango.

“Lepas dari kadar besar-kecil, kasus orang ketiga terjadi karena kesalahan tiga orang sekaligus. Orang ketiga salah, suami salah, istri salah. Ini akan terbuka dalam sesi konsultasi. Jika suami-istri jujur dan bersedia me-reset hubungan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan katarsis. Menumbuhkan hal-hal positif yang justru memperkuat ikatan pernikahan ke depan,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya