Terapi Pengobatan Efektif untuk Kanker Payudara

Ilustrasi kanker payudara.
Sumber :
  • Pixabay/pexels

VIVA – Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi tumor atau kanker di Indonesia sebanyak 1,79 per seribu penduduk. Kanker payudara adalah satu dari berbagai jenis kanker dengan insiden dan kematian tertinggi. 

Nunung Srimulat Bugar Kembali, Proses Pengobatan Selesai

Data menunjukan, sebanyak 42,1 per 100 ribu kasus dialami oleh perempuan dengan angka kematian 17 per 100 ribu penduduk. Adapun berbagai jenis kanker payudara di mana jenis HER2-Positif yang lebih agresif dibandingkan kanker payudara lainnya.

Meski begitu, jenis HER2-Positif sebenarnya memiliki peluang hidup yang lebih lama bahkan bisa sembuh. Tentunya hal tersebut dapat dimiliki dengan pengobatan yang diberikan sejak dini.

Jangan Salah, Begini Cara Pilih Pengobatan yang Tepat untuk Kanker

"Ada beberapa pilihan terapi bagi pasien kanker payudara antara lain kemoterapi, radiasi, operasi dan terapi target dengan trastuzumab," ujar spesialis penyakit dalam, Dr.dr. Andhika Rachman,Sp.PD-KHOM,FINASIM, dalam temu media di kawasan Medan Merdeka, Jakarta, Selasa 29 Oktober 2019.

Pengobatan tersebut tentu harus diberikan jika pengidap kanker masih dalam tahap stadium dini. Dokter Andhika sendiri mengatakan perlunya pemberian terapi target dengan trastuzumab untuk memaksimalkan peluang penyembuhan.

Ini Jenis Kanker yang Paling Bisa Dicegah dan Disembuhkan

"Trastuzumab adalah antibodi monoklobal yang dirancang untuk menyasar dan memblokir protein HER2 yang berpotensi dapat menjadi kanker jika jumlahnya berlebihan. Cara kerjanya dengan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh dan menekan sinyal pertumbuhan HER2 dan menghancurkan tumor," kata dia.

Selain itu, trastuzumab yang diberikan juga dapat menurunkan kadar radiasi yang turut diberikan dalam rangkaian pengobatan. Dengan begitu, efek dari radiasi pada tubuh pasien bisa diminimalisir.

"Andaikan ia tidak mendapatkan pengobatan trastuzumab yang diperlukannya, maka risiko akan lebih tinggi. Akibatnya, usia harapan hidup yang lama pun dihabiskan untuk kembali bolak-balik menjalani terapi ke rumah sakit," ungkap spesialis onkologi, dr. Denny Handoyo Kirana, Sp.Onk.Rad, di kesempatan yang sama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya