Penyebab Gangguan Mental yang Mudah Intai Generasi Milenial

Ilustrasi korban bullying
Sumber :
  • Pixabay/ wokandapix

VIVA – Data WHO menyebut, setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun dengan banyak kasus yang tidak tertangani sejak dini. Bunuh diri akibat depresi juga menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun. Ini berarti, milenial sangat berisiko mengalami gangguan mental.

Jadi Gampang Sakit, Benarkah Stres Mempengaruhi Sistem Imun?

Perubahan lingkungan ikut memicu generasi milenial rentan pada gangguan mental. Salah satunya, adanya kemajuan teknologi yang menuntut kemampuan beradaptasi dari penggunanya. Tetapi sayangnya, kebanyakan dari milenial tidak mampu memanfaatkan dengan baik, seperti mudah mendapatkan informasi tapi tidak mau melakukan verifikasi, menggunakan aplikasi yang tidak sesuai umur, mudahnya berkomunikasi dengan siapa saja secara privat, bisa berbagi foto, video, dan konten yang dapat dijadikan materi untuk menjatuhkan seseorang.

Kehadiran media sosial sebenarnya untuk memudahkan koneksi sosial tetapi kenyatannya media sosial sering menampilkan dunia fatamorgana yang penuh kebahagiaan dan kemewahan yang nampak abadi terbingkai rapi dalam feed Instagram, WhatsApp story, atau media sosial lainnya. Makeup dan filter berhasil membuat penampilan jauh lebih menarik.

Atasi Gangguan Mental Sebelum Berujung Depresi, Ini Solusi Menjaga Kesehatan Jiwa

Artinya, banyak hal yang tidak realistis dan semu dalam social media demi membangun image, keperluan eksistensi sosial atau kepentingan bisnis. Intensitas menggunakan media sosial berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan dan membuat sebagian milenial tidak percaya diri, membandingkan dirinya dengan orang lain yang mereka lihat di media sosial, cemas, menjadi pribadi yang manipulatif agar terlihat sempurna hingga menjadi depresi.

Dikutip dari rilis Sequis tentang Generasi Milenial Mudah Alami Gangguan Mental, yang diterima VIVA, Senin, 4 November 2019, persoalan mental milenial tidak hanya soal keliru dan salah menggunakan teknologi dan media sosial. Ada juga konsep perfeksionisme yang sangat dekat dengan lingkungan milenial, yaitu ekspektasi tinggi terhadap dirinya dan pada berbagai hal di sekitarnya. Sebut saja, ingin tampil sempurna, ingin terlihat bersinar dalam lingkungan pergaulannya, dan malu jika kondisi ekonomi keluarga tidak seperti lingkungan pergaulannya.

Meli Joker Tewas Bunuh Diri Sambil Live di Instagram, Psikolog Soroti Hal Ini

Seseorang yang perfeksionis biasanya akan berjuang keras untuk meraih kesempurnaan dan bisa bereaksi negatif terhadap kesalahan kecil. Mereka bisa mengkritik diri sendiri secara keras jika gagal melakukan sesuatu hal. Bisa jadi juga mereka akan mudah menyalahkan sekitar jika ia menganggap tidak mendukung rencananya atau jika sekitarnya melakukan kesalahan.

Hasil yang tidak sempurna bisa membuat mereka tidak puas, marah, mengomel, menggerutu, dan berteriak. Menuntut diri sendiri dan lingkungan untuk sempurna serta tidak siap menerima kekurangan maupun kesalahan membuat mereka menjadi pribadi yang tidak mampu untuk mengontrol emosi dan menjaga perasaan orang lain. Pada akhirnya, ketika dijauhi oleh sekitarnya ia pun sulit menerima kenyataan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri.  

Penyebab perfeksionisme sangat kompleks dan semakin meningkat akibat gaya hidup masyarakat modern yang memperhitungkan peringkat dan kinerja. Milenial dituntut dapat kompetitif dan menghasilkan kesempurnaan. Persoalan perfeksionisme dalam masyarakat modern merupakan masalah serius. Tidak menutup kemungkinan perfeksionisme dapat menyebabkan gangguan mental, seperti kecemasan, stress, depresi, gangguan makan, dan bahkan bunuh diri.

Segala aspek dalam kehidupan tentunya turut berperan untuk menciptakan sistem pendukung bagi penderita gangguan mental. Masyarakat harus menyadari dan berhenti menganggap orang dengan gangguan mental sebagai sosok yang aneh, hina, dan asing. Semua penderita tentunya sedang berjuang untuk menerima dirinya dan ingin sembuh. Ini membutuhkan banyak dukungan yang kuat.

Banyak hal yang dapat kita dilakukan pada milenial yang mengalami gangguan mental. Misalnya menanyakan kabar, menjadi pendengar, menjadi teman cerita tanpa mendikte atau menggurui sampai mereka merasa nyaman dan aman untuk jujur atas kondisi yang  mereka rasakan, tidak mendebat atau menghakimi opini mereka walaupun sanggahan mereka belum tentu benar, dan gunakan kata yang positif ketimbang berkata nyinyir.

Jangan terlalu banyak berkomentar pada reaksi mereka ketika kamu mencoba menasihati, karena bisa jadi perkataan atau opini kita malah membuat mereka semakin merasa terkucilkan. Biarkan juga mereka menangis bila memang dibutuhkan karena menangis bukan isyarat bahwa seseorang tidak kuat melainkan cara tubuh mengurangi rasa sedih dan melampiaskan stres dari beban fisik, mental, dan emosional.

Namun, jika gangguan mental terjadi secara terus-menerus, seperti sulit tertidur, sering marah walau pada hal sepele, merasa sedih terus-menerus, dan merasa bahwa diri sendiri dan lingkungannya sudah tidak bisa mengatasinya, serta terjadi perubahan fisik, seperti berat badan naik atau turun drastis, maka sebaiknya keluarga memerhatikan perubahan tersebut dan memeriksakan pada psikolog.

Sayangnya, kesadaraan masyarakat untuk mengobati gangguan mental sejak dini masih rendah, masih banyak yang merasa malu untuk memeriksakan diri ke psikolog. Belum lagi biaya konsultasi ke psikolog di Indonesia cukup tinggi dengan rata-rata biaya konsultasi berkisar Rp250 - Rp750 ribu untuk durasi 1 jam konsultasi. Untuk mengatasi masalah biaya, kini salah satu asuransi sudah ada yang bisa meng-cover biaya kesehatan untuk konsultasi kesehatan mental ke psikolog.

“Bayangkan dengan penghasilan yang tidak seberapa tetapi mereka harus menyiapkan sekian dana untuk mengobati gangguan mental. Belum lagi jika berdampak pada kesehatan. Bukannya menyembuhkan, malah membuat mereka semakin stres karena harus menyediakan sejumlah dana," ujar Ivan Christian Winatha, Branding and Communication Strategist MiPower di Jakarta.

Asuransi tersebut menjanjikan bisa melakukan penggantian biaya konseling atas kondisi mental tertentu, dan fasilitas cashless untuk rawat inap, perawatan intensif, serta sesi konseling.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya