Benarkah Makanan Tertentu Bisa Obati Kanker?

Ilustrasi sel kanker.
Sumber :
  • Pixabay/skeeze

VIVA – Di internet, banyak sekali artikel-artikel yang membahas jika makanan tertentu, terutama buah-buahan dan sayuran dapat mengobati kanker. Padahal, menurut dokter spesialis penyakit dalam, dr. Griska Lia Christine, Sp-PD., tidaklah sesederhana itu.

Bukan Lagi Penyakit Orangtua, Penderita Kanker di Usia Muda Meningkat 79 Persen

Ditemui dalam acara Watsons Beauty in Love, menurutnya, kita harus selektif dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Semua obat-obatan atau pun terapi yang diberikan oleh dokter, harus melalui uji klinis terlebih dahulu.

"Uji klinis itu pertama, si obatnya itu, atau herbal yang kita mau pakai itu harus dicobakan dulu ke dalam sebuah tabung. Artinya, pada benda mati dulu. Lalu kita akan berikan pada hewan coba,” ujar dr. Griska Lia Christine, Sp-PD., di Kuningan City, Jakarta Selatan, Selasa, 4 Februari 2020.

Pentingnya Deteksi Dini: Gejala Awal serta Faktor Risiko Kanker Serviks yang Harus Diwaspadai

“Hewan coba itu nanti dari hasilnya itu baik, lalu kita akan berikan pada orang sehat. Lalu kita lihat, diberi obat itu dengan dosis tertentu, apakah ada efeknya, toleransinya," tambahnya.

Kemudian, pada fase selanjutnya, baru diuji pada pasien yang sakit. Namun, hal itu tetap dilakukan dengan skala kecil. Setelah itu akan dilihat dulu tingkat keamanannya, efek sampingnya, kemudian dilihat apakah ada efek samping di luar perkiraan dokter.

Semangat Kate Middleton Lawan Kanker: Pengobatan Berjalan Lancar

"Setelah itu uji klinis fase ketiga. Nanti diberikan dengan range lebih besar. Bagaimana keamanannya, efektivitasnya dan efek sampingnya," jelas dr. Griska.

Terakhir, baru dipasarkan dan setelah itu pun ada yang namanya post marketing surveillance. Setelah obat dipasarkan, setiap dokter atau ahli yang menemukan efek samping di luar yang sudah ada, harus dilaporkan ke farmasi, mengapa obat ini memiliki efek samping di luar yang diteliti.

"Istilahnya obat-obatan yang sudah establish punya, dia juga istilahnya masih ada post marketing surveillance-nya. Jadi, memang harus bijaksana. Pada saat pasien mau kita terapi itu kan juga kita selalu jelaskan ini nanti akan ada efek samping ini, ini. Tapi tidak menutup kemungkinan adanya efek samping yang lain. Jadi, harus selektif," kata dia.

Menurut Griska, belum lagi setiap individu pasti berbeda. Satu obat mungkin bisa cocok pada satu individu, namun belum tentu cocok pada individu lain.

"Jadi lebih baik percaya dulu pada medis. Karena medis kan sudah melewati fase satu hingga fase post marketing surveillance itu," tutur Griska.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya