Bahaya Abaikan Social Distancing, 20 Juta Orang Diprediksi Meninggal

Jaga jarak atau social distancing saat pandemi Corona.
Sumber :
  • pixbay

VIVA – Di tengah wabah virus corona yang melanda dunia, pesan untuk melakukan social distancing tak henti-hentinya digaungkan. Bukan sekadar menjaga jarak atau mencegah penyebaran mata rantai cirus corona, social distancing yang tak henti-hentinya disebarkan ternyata juga memiliki manfaat luar biasa.

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

Menurut model matematika yang dikembangkan oleh para peneliti di Imperial College di London menyebut pandemi global virus corona atau COVID-19 dapat membunuh 20 juta orang di seluruh dunia tahun ini. Hal ini bisa terjadi jika masyarakat tidak melakun social distancing pada saat seperti ini. 

Model para peneliti mengindikasikan bahwa jika tidak melakukan social distancing, virus ini dapat membunuh sebanyak 40 juta orang di seluruh dunia. Tetapi angka ini dapat berkurang setengahnya jika masyarakat menghindari pertemuan sosial.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Peneliti itu juga menghitung bahwa jika jarak sosial yang lebih intensif dan berskala luas diterapkan lebih awal dan berkelanjutan dengan memotong 75 persen dari tingkat kontak antar pribadi, hal itu bisa menyelamatkan 38,7 juta jiwa.

Dalam studi mereka yang dipublikasikan Jumat lalu, mereka memasukkan sejumlah skenario, seperti apa yang akan terjadi jika dunia tidak mengambil tindakan untuk virus corona baru, yang kini telah menginfeksi lebih dari 700.000 orang dan menyebabkan lebih dari 34.000 kematian di dunia.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Model ini juga mencakup dua skenario menggabungkan jarak sosial, yang menghasilkan epidemi berpuncak tunggal, dan beberapa skenario untuk menekan penyebaran penyakit. Dalam memproyeksikan dampak kesehatan pandemi di 202 negara, para peneliti dari Imperial College COVID-19 Response Team mengumpulkan data tentang pola kontak spesifik usia dan keparahan COVID-19.

"Satu-satunya pendekatan yang dapat mencegah kegagalan sistem kesehatan dalam beberapa bulan mendatang kemungkinan adalah langkah-langkah jarak sosial intensif yang saat ini sedang dilaksanakan di banyak negara yang paling terkena dampak," kata studi tersebut.

“Intervensi ini mungkin perlu dipertahankan pada tingkat tertentu bersamaan dengan tingkat pengawasan yang tinggi dan isolasi kasus yang cepat,” lanjut penelitian. 

Proyeksi Imperial College menunjukkan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi akan melihat lebih banyak pengurangan kematian dan beban pada sistem kesehatan, jika mereka mengadopsi langkah-langkah  social distancing yang lebih ketat.  Para peneliti berpendapat bahwa demografi yang lebih tua dan sumber daya perawatan kesehatan yang lebih baik di negara-negara maju berkontribusi terhadap perbedaan dampak.

Studi tersebut mengatakan bahwa jarak sosial intensif kemungkinan memiliki dampak terbesar ketika diterapkan lebih awal.

Perlu dipertahankan sampai batas tertentu sampai vaksin atau penyembuhan yang efektif tersedia.

Tetapi pemerintah juga harus mempertimbangkan keberlanjutan langkah-langkah tersebut.  Studi ini tidak mengkuantifikasi biaya sosial dan ekonomi yang lebih luas dari pendekatan jarak sosial yang ketat.

"Analisis kami menyoroti keputusan menantang yang dihadapi oleh semua pemerintah dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, tetapi menunjukkan sejauh mana tindakan cepat, tegas dan kolektif sekarang dapat menyelamatkan jutaan nyawa," tambah para peneliti seperti dikutip laman South China Morning Post.

Sebuah studi terpisah oleh para ekonom dari University of Pennsylvania, ShanghaiTech University dan Chinese University of Hong Kong, memperkirakan bahwa akan ada 65 persen lebih kasus COVID-19 di 347 kota-kota China, jika kota Wuhan belum lockdown kala itu. Penelitian mereka dirilis di Jejaring Penelitian Ilmu Sosial minggu lalu untuk peer review.

Dalam studi yang dipublikasikan di The Lancet pekan lalu, para peneliti mengatakan bahwa perubahan pola kontak kemungkinan besar telah menunda puncak epidemi dan mengurangi jumlah kasus penyakit.  Studi itu mengatakan, puncak kasus kedua yang mungkin terjadi pada akhir Agustus bisa ditunda dua bulan, jika penutupan sekolah dan tempat kerja kota itu pada bulan April dan bukannya Maret.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya