3 Penyakit dengan Tingkat Kematian Tertinggi, Bukan COVID-19

Ilustrasi dokter/rumah sakit.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Hingga hari ini, penyakit menular virus corona atau COVID-19 masih menjadi ancaman. Berdasarkan data per 15 Agustus 2020, jumlah kasus positif COVID-19 dunia mencapai lebih dari 73 juta kasus.

Gus Baha Ingatkan Semua Orang Agar Ingat Mati Tapi Tetap Semangat Hidup

Tentu jumlah tersebut bukan angka yang kecil. Tetapi ternyata, berdasarkan data yang dihimpun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka kematian terbanyak justru bukan COVID-19, melainkan dari penyakit kritis atau Penyakit Tidak Menular (PTM).

Dokter Personal Medical Management Medix, Dr Mona Jamtani, mengungkapkan, di Indonesia sendiri, menurut data WHO, lebih dari 70 persen kematian disebabkan oleh penyakit kritis yang tidak menular. Pun, dengan yang terjadi di dunia.

Sederet Artis Tanah Air yang Sudah Persiapkan Kematiannya Jauh Hari, Beli Kafan hingga Batu Nisan

"Jadi data dari 2010-2019, memang angka kematian yang disebabkan karena Penyakit Tidak Menular (PTM), itu memang paling tinggi, secara global dan juga di Indonesia," ujarnya saat virtual press conference peluncuran Maxi Protection Plus, BCA dan AIA Financial, Selasa, 15 Desember 2020.

Lebih lanjut, dokter Mona turut membeberkan daftar penyakit tidak menular, dengan angka kematian tertinggi, baik di Indonesia dan di dunia.

Ahli Ungkap 7 Tanda Sekarat hingga Sebabkan Kematian, Apa Saja?

"Nomor satunya serangan jantung. Nomor dua stroke, nomor tiga masih penyakit tidak menular, paru-paru, kemudian baru penyakit-penyakit yang menular. Jadi, penyakit kritis yang tidak menular ini angkanya tinggi banget dan memang menyebabkan kematian yang banyak banget," lanjut dia.

Menurut Mona, kondisi tersebut disebabkan karena beberapa hal. Pertama, karena usia harapan hidup kita meningkat, sehingga kesempatan untuk menderita penyakit kritis pun meningkat.

"Tapi yang paling penting yang perlu diperhatikan adalah faktor risiko eksternalnya. Gaya hidup kita sekarang udah enggak bagus, aktivitas fisik kita sedikit, banyak merokok, tingkat stres yang tinggi, polusi, semuanya itu berkontribusi untuk meningkatkan penyakit kritis, terutama yang tidak menular," tegas dia.

Bahayanya, faktor-faktor risiko tersebut muncul justru di usia muda. Menurut Mona, saat kita bekerja atau beraktivitas di luar rumah, saat itulah kita terpapar. Apa penyebabnya?

"Karena kita enggak punya waktu untuk makan yang sehat. Kita belinya fast food, makannya seringnya goreng-gorengan yang gampang dimakan, enggak ada aktivitas fisik, terpapar polusi, Itu semua di saat usia muda," lanjut dia.

Mona menambahkan, sayangnya pada saat kita mendapat sinyal-sinyal dari tubuh bahwa kita mulai sakit di usia muda, kebanyakan orang malah mengacuhkannya karena beranggapan usia muda tidak akan terserang penyakit.

"Sehingga enggak ada pemikiran untuk mengubah gaya hidup atau untuk early screening (deteksi dini), sampai muncul gejala. Dan gejala itu bisa berupa serangan yang berat, seperti serangan jantung, bisa stroke tiba-tiba, bisa muncul kanker yang ternyata sudah menyebar. Jadi, memang ini suatu masalah yang cukup besar dan benar-benar memerlukan suatu solusi," tutup Dr Mona Jamtani.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya