Jangan Abai Sama Gangguan Pendengaran

ilustrasi gangguan pendengaran.
Sumber :
  • futurity.com

VIVA – Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan hampir 2,5 miliar orang akan hidup dengan gangguan pendengaran pada 2050 jika tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mencegah kondisi ini. Mereka menyerukan tindakan untuk membendung epidemi gangguan pendengaran, yang saat ini mempengaruhi 1,5 miliar orang di seluruh dunia.

WHO Sarankan Ukraina Hancurkan Patogen di Lab untuk Cegah Penyebaran

Ketua Program WHO untuk Pencegahan Ketulian dan Gangguan Pendengaran, Shelly Chadha, mengingatkan biaya yang dibutuhkan, baik pribadi dan ekonomi, terkait kondisi ini sangatlah besar.

Baca: Pakai Earphone saat WFH Picu Gangguan Pendengaran, Kok Bisa?

Kejar Target, RI Akan Kedatangan 2,88 Juta Dosis Vaksin Moderna

"Banyak orang yang tuli atau menderita gangguan pendengaran dengan tingkat yang berbeda-beda mengalami stigma dan menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam isolasi," kata dia, seperti dikutip dari situs VOA, Rabu, 10 Maret 2021.

Tidak hanya itu, ia juga melaporkan kehilangan pendengaran yang tidak tertangani telah merugikan ekonomi global hampir US$1 triliun atau Rp14 ribu triliun lebih setiap tahunnya.

WHO Peringatkan Pandemi COVID-19 Masih Jauh dari Kata Selesai

Menurut dia, mayoritas dari kondisi kehilangan pendengaran bisa dicegah. “Banyak kasus kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh mendengarkan musik yang terlalu keras dengan menggunakan headphone dan penyuara telinga dapat dicegah,” tutur Chadha.

American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) mengatakan ada tiga tipe dasar gangguan pendengaran. Tiga penyebab paling umum dari penurunan pendengaran adalah gangguan pendengaran konduktif, gangguan pendengaran sensorineural (SNHL), dan gangguan pendengaran campuran.

Hasil Riskesdas pada 2013 menunjukkan 2,6 persen penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas mengalami gangguan pendengaran, 0,09 persen mengalami ketulian, 18,8 persen ada sumbatan serumen, dan 2,4 persen ada sekret di liang telinga. Data ini juga menunjukkan bahwa gangguan pendengaran masih menjadi permasalahan kesehatan di Tanah Air.

Photo :
  • Times of India

"Karena dampak yang ditimbulkan akibat gangguan pendengaran cukup luas dan berat jika tidak ditangani dengan tepat, yaitu mengganggu perkembangan kognitif, psikologi dan sosial," kata Deputy Chief Executive Officer Kasoem Hearing Center, Trista Mutia Kasoem.

Untuk itu, ia memberikan donasi alat bantu dengar kepada masyarakat yang membutuhkan, terutama yang tidak mampu di Jawa Timur. Karena, menurut Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Litbang Kemenkes), Jawa Timur merupakan 1 dari 9 provinsi dengan angka prevalensi gangguan pendengaran melebihi angka nasional (2,6 persen).

"Dengan upaya ini, setidaknya masyarakat Indonesia dapat memperoleh solusi dalam mengatasi masalah pendengaran, serta mendapatkan pelayanan terbaik dalam penanganan gangguan pendengaran yang dilakukan oleh tenaga profesional dan terstandardisasi serta ditunjang dengan peralatan diagnostik yang lengkap," papar dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya