Sembuh dari COVID-19, Pria Perokok Ini 11 Kali Masuk ICU

Ilustrasi virus corona/COVID-19.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Seorang pria bernama Ali Akbar H, mengalami post-acute COVID-19 syndrome. Yaitu kondisi di mana pasien COVID-19 tetap merasa sakit atau mengalami gejala infeksi virus corona walau telah dinyatakan sembuh.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Padahal sebelum terinfeksi COVID-19, Ali tidak memiliki komorbid dan tidak pernah menderita penyakit berat. Namun, sang istri menuturkan bahwa suaminya adalah perokok aktif.

"Awalnya pada saat dia sudah dinyatakan negatif COVID-19, harus dipindahkan dari rumah sakit sebelumnya, karena rumah sakit itu khusus untuk COVID-19. Dan pada saat dipindahkan karena rumah sakitnya cukup jauh, jadi tetap dipasang ventilator. Dan di situ dia 11 kali masuk ICU dan kondisinya 5 hari menggunakan ventilator," cerita sang istri dalam tayangan Hidup Sehat di tvOne, Kamis, 24 Juni 2021.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Spesialis penyakit dalam, dr. Adityo Susilo, SpPD, KPTI, FINASIM, menjelaskan, umumnya orang-orang yang mengalami kondisi seperti Ali Akbar, adalah mereka yang sebelumnya menderita COVID-19 cukup berat.

"Jadi, biasanya kelompok COVID-19 ini adalah kelompok yang meskipun PCR sudah negatif artinya virus sudah hilang, tapi dampak dari kerusakan yang terjadi dari COVID-19 yang kemarin itu sudah menimbulkan dampak yang cukup berat di paru-parunya," ungkap dia.

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

Adityo menambahkan, kondisi seperti yang dialami Ali, kemungkinan paru-parunya sudah dirusak oleh COVID-19, sehingga menyebabkan fibrosis paru.

"Pada akhirnya pada saat kerusakan itu berusaha menyembunyikan dirinya sendiri, sehingga yang terbentuk adalah sekumpulan jaringan parut yang kita kenal sebagai fibrosis," kata dia.

"Dan memang fibrosis ini adalah komplikasi kronik yang dapat kita hadapi, manakala kita membantu dan menghadapi pasien-pasien COVID-19 dengan derajat yang berat dan kritis," sambung dia.

Menurut Adityo, angka kejadian fibrosis bergantung pada faktor risiko dari masing-masing orang.

"Mungkin pada pasien yang punya faktor risiko di paru-paru, seperti misalnya pasien dengan perokok aktif yang lama, penyakit PPOK (penyakit paru obstruktif kronis). Itu semua bisa punya risiko untuk terjadi fibrosis yang lebih tinggi dibandingkan pasien lain yang betul-betul paru-parunya sehat," pungkasnya.

Lebih parahnya lagi, karena harus menggunakan trakeostomi, suara Ali jadi menghilang. Trakeostomi sendiri merupakan tindakan medis berupa pembuatan lubang di bagian depan leher. Kemudian, dimasukkan selang khusus ke dalam trakea, yang bertujuan untuk membantu proses pernapasan.

"Jadi memang pada pasien-pasien yang sampai dipasang trakeostomi itu biasanya pasien-pasien yang kemarin menggunakan ventilator dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sehingga pada akhirnya, dibutuhkan pemasangan trakeostomi untuk membantu meyakinkan patensi jalan napas," terang dia.

Nah, Adityo menerangkan, salah satu kondisi yang bisa terjadi pasca trakeostomi, memang pasien akan sulit untuk bersuara atau berbicara.

"Karena pita suaranya agak terganggu, tapi nanti dari teman-teman THT atau yang lain, mereka bisa mengganti trakeostomi itu dengan trakeostomi yang punya alat seperti pita suara. Jadi, bisa mengeluarkan suara meskipun barangkali tidak selancar seperti kita yang berbicara saat ini," tutur dr. Adityo Susilo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya