Gejala Berbeda COVID-19 Varian Delta, Ini Detail Obat yang Diberikan

Ilustrasi vitamin, obat, suplemen
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin telah berkoordinasi dengan 5 organisasi profesi kedokteran untuk mengkaji protokol tata laksana COVID-19. Mereka sudah mengajukan tata laksana yang baru yang memang lebih sesuai dengan mutasi virus varian Delta.

Menkes: Implementasi Nyamuk Ber-Wolbachia untuk Tanggulangi Dengue Mulai Bergulir

Tata laksana virus varian Delta harus dilakukan dengan intervensi medis yang lebih cepat dan komposisi obat yang benar. Untuk itu, ada penyesuaian terhadap kebijakan dalam pemberian paket obat dan vitamin pada pasien.

“Untuk itu kami sudah melakukan penyesuaian dari jadwal produksi dan paket-paket obat yang ada untuk bisa menyesuaikan dengan protokol tatalaksana obat COVID-19 yang baru dari lima organisasi profesi kedokteran,” ujar  Menkes dalam konferensi pers secara virtual, Senin 2 Agustus 2021.

Gejala Asam Urat yang Wajib Diwaspadai oleh Banyak Orang, Bisa Sebabkan Masalah Serius

Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan rumah sakit untuk melakukan uji klinis beberapa terapi dengan menggunakan beberapa obat baru. Menkes berharap mudah-mudahan obat baru tersebut bisa mengurangi tekanan kebutuhan obat-obat impor.

“Sehingga variasi dari tata laksana uji klinis perawatan COVID-19 di rumah sakit semakin kaya, semakin dekat perbedaan kualitas treatmentnya dengan treatment yang dilakukan di rumah sakit negara maju,” kata Menkes.

5 Tips Aman dan Nyaman Mudik untuk Ibu Hamil, Jangan Lupa Konsultasi ke Dokter Kandungan

Berikut paket obat yang diberikan
Untuk tanpa gejala, diberikan vitamin C dan D serta obat suportif lainnya. Pada pasien bergejala ringan, vitamin C dan D ditambah dengan favipiravir, pengobatan sesuai gejala, serta obat penunjang lain.

Pada yang bergejala sedang, diberikan vitamin C dan D disertai favipiravir atau remdesivir. Juga penambahan antikoagulan, obat-obatan sesuai gejala, dan obat untuk penyakit penyerta jika ada.

Bagi bergejala berat, diberikan vitamin B, C, D, E, dan Zink. Kemudian, obat berupa favipiravir atau remdesivir, kortikosteroid, tocilizumab, antikoagulan, dan obat untuk komplikasi atau penyakit penyerta jika ada. Tambahan terapi tatalaksana syok jika terjadi pada pasien.

Stok obat
Menkes mengatakan ketersediaan obat terapi COVID-19 sering dipertanyakan masyarakat. Pemerintah berupaya memastikan obat-obatan tersebut tersedia di setiap daerah.

Kebutuhan obat terapi COVID-19 dari 1 Juni 2021 meningkat signifikan. Sayangnya kenaikan tersebut tidak sebanding dengan kecepatan produksi obat karena harus melalui berbagai proses.

“Kebutuhan itu naiknya luar biasa, jadi pada saat kebutuhan obat mulai naik teman-teman di pabrik (produsen obat) itu meningkatkan bahan bakunya. Mereka menghitung kira-kira tambah bahan baku 4 kali, begitu bahan baku diproses kebutuhan obat naiknya sudah 8 kali, kemudian bahan baku obat dinaikkan lagi dan diproses, kebutuhan obatnya sudah naik lagi jadi 12 kali,” kata Menkes.

Jadi, lanjut Menkes, akibatnya kebutuhan untuk satu produk obat tertentu misalnya, tidak sebanding dengan kecepatan produksi. Sebab, dari mulai produksi sampai obat jadi, dari impor bahan baku, proses produksi, kemudian distribusi ke seluruh apotek itu butuh waktu sekitar 4 sampai 6 minggu.

Namun demikian saat ini telah bertambah stok obat hasil produksi dalam negeri dari Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi dan juga ada beberapa obat impor yang sudah masuk.

“Dan ini kita monitor terus kebutuhan stoknya di bulan Agustus ini, dan di minggu pertama Agustus itu akan mulai banyak obat yang masuk,” ucap Menkes.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya