Obat Ivermectin untuk Terapi COVID-19, Pakar: Ada Kasus Kematian

Ivermectin obat COVID-19.
Sumber :
  • ANTARA

VIVA – Obat ivermectin masih menjadi perbincangan lantaran dianggap menjadi terapi tepat bagi pasien COVID-19. Sayangnya, belum ada bukti pasti terhadap asumsi tersebut, yang malah bisa menimbulkan dampak fatal hingga kematian. Benarkah?

Muncul Rumor Park Bo Ram Dibunuh dan Bunuh Diri, Agensi Akhirnya Umumkan Hasil Autopsi

Dipaparkan Epidemiologi UI, Pandu Riono, dokter sebaiknya tak lagi memberikan obat anti parasit itu pada pasien COVID-19. Sebab, sudah ada laporan kasus kematian yang diduga berkaitan dengan penggunaan ivermectin tersebut.

"Dokter diharapkan tidak lagi menganjurkan atau memberikan ivermectin. Sudah ada kasus kematian pada pengguna ivermectin. Hati-hati," ujar Pandu dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya @drpriono1, dikutip Rabu 4 Agustus 2021.

Sering Pikirkan Kematian, Bunda Corla Galau Mau Dimakamkan di Jerman Atau Indonesia

Lebih dalam, Pandu menegaskan bahwa pemakaian ivermectin tak bisa sembarangan karena termasuk kelompok obat keras. Terlebih, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah memperingati bahwa penggunaan ivermectin harus disertai pengawasan dokter dengan indikasi yang tepat.

"Dokter, izin Ivermectin hanya untuk kecacingan. Jangan nekat dipakai untuk Covid-19, disebut sebagai of-label. Uji klinik fase 2 sedang berjalan, dilaporkan ada kasus kematian. Do not do more harm. Publik boleh protes Nakes bila resepkan obat keras tanpa informasi tentang bahayanya," imbuhnya.

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

Selaras dengan cuitannya, Pandu menyematkan kesimpulan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (Papdi Jaya) yang menyebut bahwa BPOM memberi izin Ivermectin namun untuk terapi terbatas.

Namun hal Itu pun sebagai penelitian uji klinik dan belum dimasukkan ke dalam salah satu pilihan terapi COVID-19.

"Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan ivermectin, baik untuk pencegahan ataupun terapi COVID-19, terdapat risiko bias yang tinggi. Sehingga belum cukup kuat untuk dijadikan bukti klinis sebagai dasar tata laksana pasien COVID-19,"tulis PAPDI Jaya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya