Ahli: Kombinasi COVID-19 Delta dan Beta Bisa 30 Kali Lebih Mematikan

Ilustrasi virus corona.
Sumber :
  • Freepik/pikisuperstar

VIVA – COVID-19 masih berevolusi dan ahli mengatakan, jika dua varian yang mengkhawatirkan, yakni Delta dan Beta bergabung, maka itu akan lebih mematikan.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Dilansir dari laman The Sun, Minggu, 8 Agustus, perkiraan tingkat kematian akibat COVID-19 sekitar 1-3 persen. Ini berarti kurang dari lima dari setiap 100 orang yang tertular virus corona meninggal tanpa adanya vaksin.

Tetapi ada ‘kemungkinan realistis; di mana kematian akibat COVID-19 akan meningkat, bahkan mungkin ke tingkat yang sama seperti SARS dan MERS, menurut para ahli.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

SARS dan MERS adalah dua virus corona lain yang pertama kali muncul pada tahun 2000 dan 2012. Sekitar 10 persen yang tertular SARS dan 30 persen orang yang tertular MERS meninggal dunia.

Disebutkan bahwa COVID-19 perlu melalui lebih banyak adaptasi pada populasi manusia untuk menjadi sama mematikannya dengan SARS atau MERS. Hal ini mungkin saja terjadi jika dua varian mutasi yang jadi perhatian, seperti Delta, Beta atau Alpha bergabung menjadi satu varian baru yang lebih mematikan.

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

Peristiwa ini disebut ‘rekombinasi’ dan terjadi secara alami. Sudah terlihat dengan COVID sebelumnya dan juga flu.

Kemungkinan COVID-19 menjadi lebih mematikan digambarkan sebagai sesuatu hal yang realitis oleh para ahli, karena virus corona masih menyebar pada tingkat yang begitu tinggi.

“Saya setuju dengan kesimpulan tentang itu. Perlu dicatat bahwa sesuatu dapat menimbulkan korban yang lebih besar pada kesehatan manusia hanya dengan menjadi lebih menular. Meskipun dua virus jarang bergabung, itu bisa terjadi dan sangat mungkin terjadi. Disebut 'peristiwa rekombinasi'. Ini didokumentasikan dengan baik pada virus flu, misalnya," kata Profesor mikrobiologi seluler di University of Reading, Dr Simon Clarke.

Meski begitu, menurut Clarke, rekombinasi varian COVID-19 belum tentu pasti terjadi. Namun, tidak ada alasan bahwa jika itu terjadi, rekombinasi tersebut tidak dapat menghasilkan varian yang lebih mematikan.

"Tapi bukan berarti pasti terjadi. Itu hanya sesuatu yang bisa terjadi. Namun, sebagian besar perubahan akan menjadi pergeseran yang jauh lebih halus dalam kode genetik," jelas dia.

Jika peristiwa rekombinasi tadi terjadi, hal tersebut bisa berdampak besar pada tingkat kematian alami COVID-19, tanpa dampak vaksin yang telah sangat menurunkan angka kematian.

Disebutkan pula bahwa vaksin tidak akan memberikan kekebalan sterilisasi mutlak. Ini karena kekebalan vaksin juga akan berkurang seiring waktu dan mungkin menjadi kurang efektif, akibat virus berubah dari waktu ke waktu dan menjadi tidak dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.

Ya, virus corona akan terus bermutasi, sedikit demi sedikit. Hal tersebut tak bisa kita hindari dan oleh karena itu, ahli memprediksi orang akan terinfeksi virus ini berkali-kali sepanjang hidup mereka.

Ini terkait dengan keyakinan bahwa suatu hari COVID-19 akan menjadi endemik, artinya diperlakukan sama seperti flu biasa atau flu.

Namun, ini disebut tak akan terjadi dalam waktu dekat dan vaksinasi berulang masih menjadi cara terpenting untuk melindungi diri dari COVID-19.

Tak tertutup pula kemungkinan bahwa virus corona nantinya bisa menjadi tak seganas sebelumnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya