Selebgram RR Bugil Demi Cuan, Psikolog Pertanyakan Moral

Ilustrasi wanita.
Sumber :
  • unsplash.com

VIVA – Media sosial kerap diwarnai dengan ragam foto menarik dari selebgram, baik itu yang menunjukkan momen liburan mewah, makanan unik, hingga pose menarik. Tak sedikit yang seolah rela 'menjajakan tubuh' dengan alasan demi konten semata.

Atasi Gangguan Mental Sebelum Berujung Depresi, Ini Solusi Menjaga Kesehatan Jiwa

Terbaru, kasus salah seorang selebgram RR yang ditangkap di Bali karena kerap bugil saat sedang live di aplikasi Mango Live.

Atas perilakunya itu, selebgram RR pun akhirnya diamankan pihak Kepolisian Resor Kota Denpasar, Bali yang menyatakan tindakan dari selebgram tersebut diduga masuk dalam unsur pornografi.

Meli Joker Tewas Bunuh Diri Sambil Live di Instagram, Psikolog Soroti Hal Ini

Dituturkan psikolog, Analisa Widyaningrum, fenomena ini memang sudah cukup beken di era media sosial ini. Hal ini pun serupa dengan penelitian dari UNICEF pada tahun 2004 yang menyebut ada beberapa faktor psikologis yang mendorong anak, terutama remaja perempuan untuk merelakan tubuhnya.

"Terutama remaja perempuan yang mau mengorbankan dirinya secara seksual. Mungkin sekarang lebih elegan ya, enggak bugil kok, enggak berhubungan seks kok. Tapi ini degradasi moral. Apa sih yang menyebabkan mereka mau?" kata Ana, sapaannya, dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Senin, 20 September 2021.

Nikita Mirzani Ngaku Dapat Kekerasan dari Mantan, Psikolog Bilang Begini

Dilanjutkan Ana, salah satu faktor yang membuat anak rela 'menjual tubuh demi cuan' adalah karena ekonomi rendah. Selain itu, pendidikan juga turut memengaruhi iming-iming duit tebal meski harus rela berpose minim.

"Mereka yang rela menjajakan dirinya untuk dapat cuan dengan mudah karena tidak memiliki keterampilan di dunia industri hari ini. Jadi 'talent management' tadi meresahkan kita semua karena kita sepakat kalau kita membiarkan ini, artinya makin banyak anak indonesia yang mereka tidak memikirkan pendidikan untuk bisa (kerja) di dunia industri," terangnya.

Ada pun faktor trauma bisa memicu keinginan untuk menjajakan tubuhnya akibat kekerasan dari keluarga dan lingkungan. Tak sedikit pula yang melakukannya akibat unsur keterpaksaan.

"Ditemukan juga dari penelitian UNICEF itu karena awalnya dipaksa. Lalu lama-lama mereka terjebak," bebernya.

Bagaimana mencegah anak terjebak fenomena ini?

Menurut Ana, Indonesia sendiri mengalami tantangan dalam keterbukaan informasi melalui internet di era ini. Bukan hanya itu, penggunaan gawai di masa pandemi memaksa anak 'berpapasan' dengan internet setiap harinya.

"Dulu anak bawah umur enggak bisa gunakan internet untuk cari tahu sesuatu. Sekarang umurnya belum siap tapi udah dikasih device itu. Ini enggak ditolak karena anak butuh itu untuk sekolah online," jelasnya.

Meski begitu, peran orangtua lah yang seharusnya mampu memgawasi dan memberi batasan pada penggunaan internet anak. Dari situ, moral mesti ditanamkan pada anak sejak dini agar kelak mampu menggunakan internet secara bijak dan terhindar dari eksploitasi seksual.

"Lagi-lagi peran keluarga, gimana mereka mengawasi anak. Keluarga ini yang menanamkan nilai moral, bukan menyalahkan pandemi. Agar orangtua bisa mengontrol penggunaan internet pada anak remaja yang usianya 13 thn ke bawah, gimana membangun kedekatan anak dengan orangtua," jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya