Prevalensi Merokok di Indonesia Sulit Turun, Akademisi Sarankan Ini

Ilustrasi jangan merokok.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle – Akademisi menilai Pemerintah Indonesia sudah semestinya memperkuat kajian ilmiah secara independen terkait efektivitas, profil risiko, dan dampak penggunaan dari produk tembakau alternatif

Lagi Liburan, Vokalis RHCP Anthony Kiedis Sebat Bareng Warga Kepulauan Mentawai

Alasannya, pemerintah masih kesulitan dalam menurunkan prevalensi merokok, namun belum juga memanfaatkan kehadiran produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan kantong nikotin, yang sudah marak di dalam negeri sebagai solusi. 

Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Profesor Achmad Syawqie menyebutkan saat ini semakin banyak negara maju, seperti Inggris, Jepang, dan Selandia Baru, yang telah melakukan kajian independen tentang produk tembakau alternatif dan menyimpulkan bahwa produk tersebut memiliki profil risiko yang lebih rendah daripada rokok.

Viral Terekam Seorang Wanita Diam-diam dan Santai Merokok di Dalam Pesawat

“Pemerintah Indonesia sudah semestinya melakukan kajian independen di dalam negeri dengan melibatkan institusi kampus dan peneliti,” ujar Syawqie, dalam keterangannya, Jumat 8 Juli 2022. 

Ilustrasi usia merokok minimal 18 tahun ke atas.

Photo :
Pengurangan Bahaya Tembakau, Alternatif bagi Perokok Dewasa Beralih dari Kebiasaannya

Ia menambahkan pemerintah belum melakukan penelitian komprehensif lantaran produk tembakau alternatif belum dianggap sebagai agenda prioritas. Pertimbangan lainnya, riset yang berhubungan dengan tembakau masih dianggap sensitif. Padahal, ada potensi besar yang bisa dimanfaatkan dari produk tersebut untuk memperkecil risiko kesehatan bagi perokok yang belum bisa sepenuhnya beralih dari rokok. 

“Adanya resistensi dan penolakan dari beberapa pihak berdampak pada keterbatasan dalam melakukan kajian tersebut Indonesia. Perlu terobosan yang melibatkan berbagai pihak dalam bentuk kolaborasi penelitian yang didanai oleh pemerintah,” terang Syawqie.

Selain itu, ada pula faktor kehadiran pihak prohibitionist yang meyakini bahwa penggunaan produk tembakau harus bebas dari risiko sepenuhnya. Menurut Syawqie, keyakinan tersebut membuat kelompok ini cenderung menolak untuk melakukan kajian terhadap produk tembakau alternatif.

Untuk menjawab kondisi tersebut, pelibatan berbagai pihak dalam bentuk kolaborasi penelitian, khususnya mereka yang didukung oleh pendanaan pemerintah bisa menjadi solusi. Hal ini disebut sebagai reduksionis, yang meyakini adanya upaya pengurangan risiko dari penggunaan produk tembakau alternatif yang perlu dikaji secara mendalam.

Ilustrasi dilarang merokok.

Photo :
  • Pixabay

“Inisiatif untuk mendorong penelitian produk tembakau alternatif di dalam negeri dapat dilakukan oleh dunia kampus dengan melibatkan akademisi dan peneliti agar bersuara kepada pemerintah, khususnya BRIN dan Kemendikbudristek untuk mendukung kajian independen tentang produk tembakau alternatif,” ujarnya.

Selain kerja sama antar pihak dan lembaga di dalam negeri, Syawqie melanjutkan perlu juga dikedepankan kolaborasi nasional-internasional, akses untuk diseminasi, penyusunan kajian ilmiah sebagai referensi pembuatan kebijakan sekaligus wadah diskusi ilmiah antara pemerintah serta akademisi. 

“Upaya pengurangan bahaya tembakau dapat dilakukan melalui ketersediaan produk tembakau alternatif untuk menurunkan prevalensi perokok dewasa. Hal ini dilakukan dengan cara mempertimbangkan hasil kajian ilmiah terkini khususnya dari dalam negeri sendiri,” tutup Achmad Syawqie.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya