Soal Isu BPA dan Plastik PET, Begini Pandangan Ahli

Ilustrasi Botol Minuman
Sumber :
  • Pixabay/ Hans

VIVA Lifestyle – Kontroversi air minum dalam kemasan (AMDK) dalam galon polikarbonat yang disebut mengandung senyawa kimia berbahaya, Bisphenol A (BPA), masih bergulir. Rancangan regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang akan mengatur penggunaan galon BPA pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) masih disorot sejumlah kalangan. 

Waspada! BPOM Temukan Mie Kuning Basah Berformalin di Pasar Depok

Lontaran respons sebagian akademisi juga beragam, dengan mengatakan bahwa galon BPA aman. Salah satunya pengajar biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD. Ia berpendapat bahwa senyawa kimia BPA akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh orang yang tidak sengaja mengonsumsinya melalui urine. 

Namun, ia secara gamblang mengatakan setuju jika BPOM tetap melakukan pengawasan ketat terhadap konsentrasi BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum dalam kemasan galon plastik keras.

Heboh soal Bromat, LPPOM MUI Jamin Keamanan Produk AMDK Bersertifikat Halal

"Kita sebenarnya tidak tahu berapa konsentrasi BPA yang ada di sekeliling kita. Kalau tidak dibatasi, bisa saja ada yang nakal meningkatkan konsentrasi BPA,” katanya. 

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.
Bea Cukai Musnahkan 1 Ton Roti Milk Bun Asal Thailand karena Tak Ada izin BPOM

BPA dan PET
Sejauh ini, faktanya hanya segelintir negara berkembang yang masih belum mengatur ketat kemasan galon BPA dengan regulasi. Vietnam dan Indonesia adalah contohnya. Sementara, di negara maju kemasan plastik BPA sudah dilarang melalui regulasi, utamanya karena dinilai bisa memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan, hingga gangguan mental pada anak. 

Galon BPA - berkode plastik buncit, nomor 7. Selain sulit didaur ulang, juga sangat rentan terhadap gesekan dan sinar matahari dalam proses distribusinya dari pabrik hingga ke tangan konsumen, yang sangat berpotensi melepaskan senyawa BPA hingga menyebabkan air di dalam kemasan terkontaminasi.

Belum lagi tidak adanya kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun, atau galon isi ulang yang dicuci dengan deterjen di pinggir jalan selama bertahun-tahun. Meski diklaim tahan panas, tidak ada juga yang mengontrol sejauh mana kontaminasi yang terus-menerus terjadi pada air dalam kemasan galon BPA, baik karena kenaikan suhu temperatur maupun karena sebab lain seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan galon.

Sementara plastik berbahan Polyethylene Terephthalate berkode plastik nomor 1, atau disingkat PET, disebut relatif aman dan digunakan di seluruh dunia. Salah satunya Jepang yang sudah beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu. 

BPA (Bisphenol A).

Photo :
  • NPR

Ahli teknologi polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., mengatakan masyarakat di Indonesia cenderung bersumbu pendek, yang langsung menggunakan informasi yang diterima tanpa pikir panjang. 

Prof. Mochamad mengungkapkan alasan mengapa warga di negara maju lebih mudah memilih plastik PET untuk kemasan makan dan minuman yang paling dominan di negeri mereka. 

"Ada banyak pertimbangan, utamanya tentu pertimbangan teknologi. Tetapi, di samping itu, masyarakat di sana sudah terdidik dari awal, sehingga mereka sejak awal sudah sangat memahami kebijakan untuk memilih plastik PET,” kata dia dari Tokyo, Jepang, dalam keterangan tertulis, Senin 8 Agustus 2022. 

Menurut Mochamad, amannya plastik PET bisa dilihat dari penggunaannya dalam skala masif di seluruh dunia. Termasuk oleh market leader pasar AMDK di Indonesia. Belum ada satupun negara di dunia ini yang melarang penggunaan plastik PET untuk kemasan air minum. Lebih jauh, Mochamad Chalid mengatakan, sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi bahwa tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon  berbahaya dalam kemasan plastik PET. 

"Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan  plastik PET,” tuturnya. 

Berdasarkan data, keunggulan plastik PET juga disebut telah didukung riset yang menegaskan botol plastik PET aman digunakan. Kesimpulan ini dipublikasikan Council of Scientific and Industrial Research-Central Food Technological Research Institute (CSIR-CFTRI), Mysore, India (The Hindu, 8/2019). 

Analisis CSIR-CFTRI menyimpulkan bahwa dipapar temperatur tinggi pun plastik PET tidak menyebabkan migrasi di dalam kemasan, semuanya masih di bawah batas deteksi (below detection limit). Batas ini juga masih di bawah regulasi Uni Eropa (UE) tentang batas migrasi spesifik, yang merupakan jumlah maksimum senyawa yang bisa bermigrasi dari kemasan ke dalam minuman di dalamnya. Secara keseluruhan, hasil riset ini menyimpulkan tidak ada senyawa kimia pada botol plastik PET yang melanggar batasan regulasi Uni Eropa. 

Merujuk kembali penegasan BPOM, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito, mengatakan, regulasi pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Ia menjelaskan, regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik. 

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Penny K Lukito.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

"Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," katanya. 

Menurutnya, kehadiran pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat. 

"Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," tuturnya

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang juga menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar. 

Ilustrasi galon.

Photo :
  • Pixabay

"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM," kata Rita. 

Rita merinci, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. 

"Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya