Peneliti: Regulasi Pangan Tak Boleh Berpihak Pada Kemasan Tertentu

Ilustrasi kemasan plastik
Sumber :
  • Pixabay/pexels

VIVA Lifestyle - Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma, menegaskan penilaiannya terhadap kemasan berbahan PET dan polikarbonat, keduanya sama-sama memiliki risiko terhadap kesehatan. Jadi, menurutnya, regulasi pangan itu tidak bisa lebih memihak kepada salah satu kemasan tersebut, apalagi dengan mengatakan kemasan yang satu berbahaya. 

Kembangkan Produk Urea dan Amonia, Pupuk Indonesia Gandeng BUMN Brunei BFI

“Pendapat saya masih tetap seperti awal, bahwasanya dua-duanya itu punya risiko. Memang saya juga bingung dengan pendapat pemerintah yang di luar sana yang seakan-akan ingin menghalangi kemasan galon polikarbonat dan membolehkan galon PET. Sebenarnya kan itu agak ambigu karena justru yang risikonya lebih banyak itu di galon PET,” ujar Nugraha dalam keterangannya, Kamis 29 September 2022. Yuk, scroll untuk melanjutkan
 
Dia juga mengungkapkan tidak mengerti apa alasan BPOM ingin mengeluarkan kebijakan 'berpotensi mengandung BPA' terhadap galon polikarbonat. 

"Tapi pendapat saya tetap tidak berubah, bahwa dua-duanya kemasan itu tetap berisiko. Dan kalau dipaksakan untuk menggunakan kemasan PET, kan dari aspek lingkungan tidak bagus karena hanya sekali pakai,” ucapnya. 

Daftar Harga Pangan 23 April 2024: Daging Sapi hingga Telur Ayam Turun

galon air

Photo :
  • Pixabay

Luhut Ungkap Rencana China Tanam Ratusan Hektare Padi di Kalimantan
 
Jadi, Nugaraha mengatakan dari awal dirinya sudah tidak sependapat dengan BPOM yang menyampaikan bahwa PET lebih aman dari polikarbonat. 

"Dari awal dan sampai sekarang saya tetap ke BPOM itu ngomong seperti ini,” ujarnya. 
 
Dia mengutarakan bahwa International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari Organisasi Kesehatan Dunia  (WHO) belum mengklasifikasikan BPA dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan PET justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia.

"Hingga sekarang, IARC, badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” katanya. 

Ilustrasi kemasan botol minum atau BPA.

Photo :
  • iStockphoto.

 
Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam 4 grup. Kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.
 
“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat. Yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.

Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), masih belum menetapkan pembatasan untuk memperketat migrasi BPA  hingga kini. 

"Bisa jadi mereka juga belum yakin," katanya.

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.

 

Jadi, Nugraha menyatakan tidak
fair
jika kemudian galon polikarbonat menurutnya dijelek-jelekkan terus. 

"Istilahnya ditindas. Polikarbonat ditindas terus,” cetusnya. 
 
Nugraha sendiri merupakan salah satu tim ahli yang ikut menyusun pedoman implementasi Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Tapi, untuk penyusunan revisi yang memasukkan peraturan pelabelan BPA ini, dia mengaku tidak masuk dalam tim.

"Saya bukan tim ahlinya di pelabelan BPA ini, mungkin ada tim lain,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya