Pasien TBC Berhenti Minum Obat, Dokter: Kumannya Makin Kuat

Ilustrasi batuk.
Sumber :
  • Freepik/drobotdean

VIVA Lifestyle – Sebanyak lebih dari 900 ribu kasus tuberculosis (TBC) ditemukan di Indonesia dengan kondisi pasien yang belum pulih seutuhnya. Salah satu kendala yang membuat sulit terlepas dari kuman TBC ini adalah kepatuhan mengonsumsi obat pada pasien yang menurun seiring berjalannya proses pengobatan yang cukup lama.

431 Kerbau di OKI Sumsel Mati Mendadak, Ini Penyebabnya

Ketua Koalisi Organisasi Profesi untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) Erlina Burhan menuturkan bahwa proses pengobatan TBC yang panjang membuat pasien kerap berhenti di tengah jalan. Padahal, kuman justru makin resisten apabila pengobatan tak sampai tuntas dan proses perawatan akan lebih berat. Yuk scroll ke bawah untuk simak info lengkapnya!

Dr dr Erlina Burhan Sp.P(K), Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Photo :
  • tvOne

Bagaimana Membedakan Gejala Infeksi dengan Penyakit Biasa pada Anak?

"Kalau obatnya berhenti tengah jalan, padahal kuman masih ada. Kuman nggak dibunuh, masih ada, dia akan jadi yang lebih kuat dengan cara mutasi. COVID kan dia mutasi. Kuman juga jadi mutasi yang kebal obat," ujarnya dalam acara The SDGs National Seminar Series: Sinergi Nasional dalam Katalisasi Pencapaian SDGs 2030 Menuju Indonesia Sehat, Berdaya, dan Lestari, Senin 31 Oktober 2022

Dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu juga menambahkan bahwa seringkali pengobatan hanya menyasar pasien positif TBC. Faktanya, banyak pasien dengan kuman TB laten (kumannya tidak aktif) pun seharusnya diobati namun kerap tak terdeteksi fasilitas kesehatan.

Bersama Lawan TBC: Buku Pedoman Kemitraan Percepatan Penanggulangan TBC Diluncurkan WKPTB

"Yang diobati TB positif saja, padahal ada TB laten. Bukan sakit TB, tapi laten. Laten berbahaya karena bisa jadi TBC juga," kata Erlina.

Ilustrasi penderita TBC.

Photo :
  • U-Report

Kasus TBC di Indonesia sendiri tercatat sebanyak 969 ribu di tahun 2022 ini. Penurunan angka kasus bisa terjadi apabila melakukan kolaborasi seperti penanganan COVID-19. Seluruh kementerian berkolaborasi menyokong pencegahan penularan COVID-19. Hal serupa pun bisa dilakukan untuk TBC, baik dalam mencegah penularan serta kematian.

"Tiap jam 16 orang meninggal di Indonesia. Ya, ini bahaya," imbuhnya.

Kolaborasi ini juga dilakukan lantaran penanggulangan TBC perlu dilakukan dengan mencukupi kebutuhan nutrisi serta akses lingkungan bersih. Menurut Erlina, penularan TBC terjadi dengan kepadatan penduduk yang tinggi karena kuman TBC bisa melayang di udara dan berisiko terhirup serta berkembangbiak pada individu yang imunitasnya rendah.

"Semua orang berisiko menghirup udara mengandung kuman TB. Tapi yang sakit hanya yang daya tahan tubuh rendah, ada hubungan dengan gizi. Nutrisi ada hubungan dengan ekonomi. Kalau suatu keluarga tidak cukup sediakan nutrisi seimbang, kemungkinan ada sistem imun turun sehingga kalau ada kuman TB masuk, bisa berkembang dan jadi sakit TB," tandasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya