Pakar Terus Desak Labelisasi Galon BPA, Ini Alasannya

galon air
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle - Pelabelan galon plastik polikarbonat yang mengandung bahan kimia Bisphenol A (BPA) dianggap masih berjalan terseok-seok. Padahal menurut beberapa pihak, kebijakan ini hanya untuk pelabelan kemasan galon BPA saja, bukan pelarangan kemasan BPA seperti di luar negeri. 

Ini Akibat Jarang Scaling Gigi yang Perlu Anda Ketahui!

Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, mengatakan, semua pakar kesehatan dunia yang telah melakukan riset sepakat bahwa BPA sangat berbahaya bagi usia rentan. Scroll untuk info selengkapnya

"Yaitu bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. Bahkan BPA dinyatakan sebagai polusi yang tak terlihat," ujar Arist dalam Diskusi Publik ‘Bebaskan Anak-anak Indonesia dari Kemasan BPA yang Berbahaya, di Jakarta, belum lama ini. 

Dilema Air Minum Dalam Kemasan

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.

Secara global, plastik BPA diregulasi sangat ketat dan dilarang di banyak negara. Uni Eropa sudah melarang penggunaan BPA sejak 2011, Kanada melarang kemasan BPA untuk anak dan orang dewasa (2017), negara bagian di Amerika Serikat juga sudah mengeluarkan larangan BPA untuk kemasan seperti California (2015), Connecticut (2014), Illinois (2014), Maryland (2014), Massachusetts (2014), Minnesota (2014), New York (2014), Washington (2014), termasuk juga Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia.

Termasuk Polusi Udara, Ini 10 Penyebab Penyakit Jantung yang Perlu Diketahui

Menurut Arist, Komnas PA terus mengawasi kemasan mengandung BPA yang dia anggap sebagai salah satu bentuk kekerasan yang tak bisa dilihat, yaitu kekerasan dalam bentuk merampas kesehatan anak. 

"Para pelaku usaha dan beberapa pihak terkait sepertinya lebih memilih kepentingan industri dan membiarkan kekerasan tak terlihat ini terus terjadi. Pembiaran ini dilakukan dengan cara, dibiarkannya anak-anak, bayi, balita dan janin terus mengonsumsi makanan dan minuman dari wadah atau kemasan yang mengandung BPA,” kata dia. 

Menurut Arist, senyawa BPA tersebut banyak ditemukan di berbagai kemasan yang selama ini digunakan sehari-hari. Utamanya kemasan untuk menyeduh air susu dan wadah yang terbuat dari plastik, seperti galon bekas pakai yang oleh industri AMDK terus digunakan berulang-ulang untuk kemudian dijual lagi ke konsumen.

“Saya kira industri wajib hukumnya membuat peringatan itu (BPA),” tuturnya. 

Arist menyayangkan beberapa kemasan plastik seperti galon bekas pakai yang belum mencantumkan label peringatan bahaya BPA. 

Ilustrasi galon.

Photo :
  • Pixabay

“Saya lihat iklan yang ada saat ini tidak menyebutkan bahwa kemasannya sudah bebas dari BPA, padahal itu wajib hukumnya oleh industri. Kalau tidak ada iklan seperti itu, maka labelnya (peringatan BPA) harus ada di dalam kemasan plastik,” ungkapnya. 

Arist mengatakan, kemasan yang tidak dilabeli peringatan bahaya BPA dan dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu-ibu, pastinya berbahaya. Itu sebabnya, dibutuhkan regulasi yang dapat mengatur label BPA pada pangan.

“Wajib hukumnya industri menggunakan label. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perka BPOM) No 31 Tahun 2018 sudah disusun dengan persetujuan DPR, dan sudah diserahkan ke Setneg untuk mendapatkan persetujuan Presiden. Perka itu lahir sebagai regulasi untuk melindungi para ibu dan anak-anak dari bahaya BPA," paparnya.

Memanfaatkan Hari Gizi Nasional yang dirayakan pada 25 Januari 2023, Arist mengatakan Komnas PA sudah menulis surat terbuka kepada Presiden agar peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan agar segera ditandatangani.

“Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kesehatan anak-anak dari bahaya senyawa kimia BPA yang banyak ditemukan di kemasan-kemasan plastik,” katanya.

Sejauh ini, sudah ada lebih dari 130 studi yang melaporkan efek berbahaya dari BPA. Beberapa di antaranya antara lain menyebabkan kanker payudara, pubertas dini, penyakit jantung, infertilitas, katalisator penyakit saraf, dan obesitas, serta gangguan hormon dan perubahan perilaku pada anak.

Ilustrasi obesitas.

Photo :
  • http://listverse.com

Prof. Mochamad Chalid, pengajar dan peneliti di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia disarankan untuk melihat tindakan sigap negara lain untuk melindungi warganya. 

“Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu,"  kata dia. 

Chalid baru saja mengikuti workshop di Tokyo, Jepang, tentang penggunaan plastik berbahan polyethylene terephthalate atau disingkat PET.  Menurutnya, plastik PET dikenal relatif aman dan saat ini semua industri AMDK di  Indonesia menggunakan plastik PET untuk kemasan botol. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya