Menkes Tetapkan KLB Difteri di Garut, Kenali Gejala dan Pencegahannya

Ilustrasi anak sakit.
Sumber :
  • freepik/lifeforstock

VIVA Lifestyle – Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin telah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) difteri di Garut, Jawa Barat. Diakui Menkes Budi, risiko difteri meningkat karena keterlambatan imunisasi saat pandemi COVID-19 berlangsung selama tiga tahun terakhir.

Pentingnya Deteksi Dini: Gejala Awal serta Faktor Risiko Kanker Serviks yang Harus Diwaspadai

"Difteri di Garut memang vaksinasinya kurang, gara-gara COVID-19 jadi agak berkurang," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, dikutip laman Antara.

Menkes Budi mengatakan bahwa pandemi COVID-19 telah menyita banyak hal, termasuk sistem kesehatan dan energi tenaga kesehatan untuk program imunisasi di daerah. Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah berhasil memetaakan daerah yang tertinggal dalam Program Imunisasi Nasional untuk dilakukan akselerasi.

5 Fakta Penting tentang Penyakit FLUTD pada Kucing

Ilustrasi anak sakit.

Photo :
  • Freepik

"Kita sudah identifikasi daerah mana yang imunisasinya kurang. Kejadiannya ini seperti polio. Karena pada saat COVID-19, banyak energi habis, jadi beberapa imunisasi anak ketinggalan," tambahnya.

61 Kasus Flu Singapura Ditemukan di Surabaya, Kenali Gejala-gejalanya

Hal ini serupa dengan KLB Polio yang terjadi di Aceh karena berkurangnya imunisasi dasar di masa pandemi. Ada pun untuk merespons KLB ini, Kemenkes juga mengejar ketertinggalan imunisasi Diphteria Tetanus (DT) untuk mencegah sejumlah penyakit infeksi, seperti difteri, tetanus, dan pertusis atau bak rejan.

"Akan kami tangani. Sudah kirim tim ke sana. Daerah sana (Garut) imunisasi difterinya kurang," katanya.

Pemerintah Daerah Garut telah melaporkan dua kasus difteri dialami warga Kampung Sukahurip, Kecamatan Pangatikan. Beberapa lainnya, dinyatakan berstatus suspek.

Kejar Imunisasi

Dikutip laman Kementerian Kesehatan, munculnya KLB Difteri sangat terkait dengan keberadaan immunity gap, yaitu kesenjangan atau kantong kosong kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap Difteri, karena tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.

Imunisasi

Photo :
  • ANTARA Foto/M Risyal Hidayat

Salah satunya, dengan mendukung pelaksanaan outbreak respons immunizations (ORI) agar berhasil menutup gap immunity di wilayah yang terjadi KLB Difteri. Hal ini bertujuan dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama, yakni melindungi seluruh warga negara dari ancaman penyakit berbahaya.

Seperti diketahui, kriteria berakhirnya suatu KLB adalah apabila tidak ditemukan lagi kasus baru selama 2 kali masa inkubasi terpanjang (ditambah masa penularan Difteri) sejak laporan kasus terakhir, sehingga status KLB dapat dicabut setelah 4 minggu oleh pemerintah daerah.

Pentingnya Imunisasi

Outbreak respons immunization (ORI) merupakan standard operating procedure apabila terjadi KLB penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh imunisasi (PD3I), dalam hal ini Difteri. ORI dilaksanakan langsung bila ditemukan penderita Difteri oleh Puskesmas. Sasaran ORI adalah anak berusia usia 1 s.d 19 tahun

ORI bertujuan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat dengan menutup immunity gap sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Karena itu, ORI Difteri sebanyak tiga putaran perlu dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari bakteri corynebacterium diphteriae.

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang dengan optimal, tanpa rasa khawatir akan ancaman kesehatan yang mengganggu masa depannya.

Ilustrasi vaksin.

Photo :
  • Freepik/jcomp

Hal terpenting yang perlu diingat adalah bagaimana masyarakat secara sadar dapat mencegah agar KLB Difteri ataupun KLB penyakit lain tidak perlu terjadi karena dapat dicegah dengan imunisasi. Karena satu-satunya cara mencegahnya adalah dengan penguatan program imunisasi nasional dengan mengupayakan semua anak mendapatkan imunisasi rutin dengan lengkap.

Para orang tua secara khusus perlu menyadari bahwa imunisasi ada tiga jenis, yaitu: 1) Imunisasi Dasar yang wajib dilengkapi hingga bayi usia 9 bulan; 2) Imunisasi Lanjutan yang didapatkan oleh anak berusia 18 bulan (dikenal dengan istilah booster), siswa kelas 1, 2 dan 5 SD yang dilaksanakan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS); 3) Imunisasi Tambahan seperti pekan imunisasi nasional atau ORI saat terjadi KLB.

Sejatinya, imunisasi merupakan hak anak, bukan hak orang tua. Hanya saja, anak belum dapat menyatakan keinginannya untuk memiliki kekebalan dari penyakit-penyakit berbahaya, belum dapat menyuarakan secara lantang haknya untuk sehat.

Akhirnya tinggal bagaimana kita mampu melihat imunisasi sebagai ikhtiar melindungi buah hati, melindungi masa depan generasi bangsa, agar mereka bisa tumbuh dengan baik dan meraih masa depan, karena tidak ada permasalahan kesehatan atau risiko yang membahayakan. Tanda kita menyayangi bukan dengan menjauhkan vaksinasi. Justru tanda kasih sayang adalah memberikan hak perlindungan.

Gejala dan Dampak Difteri

Difteri adalah penyakit menular yang dapat disebarkan melalui batuk, bersin, atau luka terbuka. Gejalanya termasuk sakit tenggorokan dan masalah pernapasan. Penyebab utama difteri adalah infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae, yang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta dapat memengaruhi kulit. 

Ilustrasi anak sakit.

Photo :
  • Freepik/DCStudio

Penyakit ini dapat menyerang orang-orang dari segala usia dan berisiko menimbulkan infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa. Pengobatannya meliputi antibiotik dan antitoksin untuk mematikan bakteri. Salah satu langkah pencegahan difteri yang paling efektif adalah mendapatkan vaksinasi difteri. Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini paling sering menginfeksi bagian hidung dan tenggorokan. 

Setelah menginfeksi, bakteri melepaskan zat berbahaya yang disebut racun yang kemudian menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan lapisan abu-abu tebal. Lapisan ini umumnya terbentuk di area hidung, tenggorokan, lidah dan saluran udara

Dalam beberapa kasus, racun ini juga dapat merusak organ lain, termasuk jantung, otak, dan ginjal, sehingga berpotensi menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa. Difteri tergolong penyakit menular berbahaya dan berisiko mengancam jiwa. Jika tidak ditangani, bakteri penyebab difteri dapat mengeluarkan racun yang merusak jantung, ginjal, atau otak.

Gejala difteri muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi. Meskipun demikian, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala. Apabila muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita.

Selain lapisan abu-abu di tenggorokan, gejala lain yang dapat muncul meliputi :

1. Sakit tenggorokan
2. Suara serak
3. Batuk
4. Pilek
5. Demam
6. Menggigil
7. Lemas
8. Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya