Atasi Peredaran Vaksin Palsu, Kewenangan BPOM Diperluas

Seorang tenaga medis menunjukkan vaksin campak
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA.co.id - Kasus peredaran vaksin palsu sudah tidak lagi menjadi isu hangat untuk diperbincangkan. Namun setidaknya, kasus ini bisa menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan terkait di sektor kesehatan untuk bersama-sama memberantas dan mencegah peredaran vaksin palsu dari akar.

Peredaran vaksin palsu seakan memberi indikasi lemahnya pengawasan terhadap peredaran obat di Indonesia. Karena itu, penguatan pengawasan menjadi fokus utama yang perlu dibenahi. Salah satunya dengan revisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no 30, 35 dan 58 tahun 2014.

Hal ini tentu disambut baik Badan Pengawas Obat dan MakananĀ  (BPOM), seperti diungkapkan Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT BPOM, Drs.Arustiyono, dalam Temu media IPMG Dukung Pemerintah Tuntaskan Peredaran Vaksin Palsu, di Kuningan, Jakarta Selatan, 29 Juli 2016.

"BPOM menyambut baik inisiatif pemerintah dalam memperkuat sektor kefarmasian. BPOM juga berinisiatif melakukan pembinaan dan pengawasan di sarana pelayanan kesehatan, dan bersinergi dengan Dinas Kesehatan di daerah," ujarnya.

Terkait pembinaan ini, Arus mengatakan, bahwa masih ada profesional yang tidak mengetahui adanya distributor resmi dan tidak resmi. "Yang kami tekankan, pengadaan harus dari sumber resmi. Ini untuk meminimalisir peredaran vaksin palsu," ujarnya.

Pentingnya BPOM disertakan dalam pengawasan adalah untuk memudahkan dalam inspeksi, karena selama ini BPOM mengambil sampel. "BPOM ingin berkontribusi, ingin memeriksa sesuai kewenangannya. Kalau BPOM ingin melakukan inspeksi obat yang masuk harus ada akses. Selama ini hanya dijalur distribusi, tidak sampai di sarana pelayanan," ujarnya menambahkan.

"Sampling kita yang asli semua, tapi kalau dari awal discreening itu 99 persen akan ketemu palsu tidak. Kalau hanya sampling biasa tidak bisa inspeksi, yang masuk resmi tidaknya," ujarnya.

WHO Temukan Vaksin Palsu COVID-19 di India dan Afrika

Lebih lanjut, Arus mengatakan, dia yakin dengan kewenangan lebih, akan membuat pemalsu obat ataupun vaksin akan memiliki efek jera. "Kalau tahu sumbernya, dan bisa menemukan vaksin palsu, akan diproses masuk ranah hukum, saya kira takut. Kalau hanya memberi izin, powernya kurang kuat (BPOM)," ujarnya menerangkan.

Arus juga mengatakan bahwa pengawasan obat tidak hanya menjadi tugas BPOM. Melainkan diperlukan sinergi antara pelaku usaha dan masyarakat. "Pengawasan bukan BPOM saja, berapa puluh ribu rumah sakit, apotek, klinik di Indonesia. Perlu sinergisme yang lebih kuat antara pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha. "Masyarakat harus dididik, teman-teman media buat masyarakat pintar, cerdik secepatnya, jangan dibodoh-bodohi bahwa obat mahal bagus. Sedangkan pelaku usaha, kalau mencurigai ada yang palsu, segera laporkan."

Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif IPMG (International Pharmaceutical Manufacturers Group) mengatakan hal serupa. "Sinergi antara pemerintah, Asosiasi sektor kesehatan, serta masyarakat diperlukan untuk memerangi pemalsuan. Dan peredaran harus diselesaikan serta ditegakkan hukumnya, demi menjaga kepercayaan publik terhadap sektor kesehatan di Indonesia."

Ilustrasi vaksinasi COVID-19

Hoaks, WHO Temukan Vaksin COVID-19 Palsu di Indonesia

Beredar informasi di media massa yang menyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan vaksin COVID-19 palsu di Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
20 Agustus 2021