Anak Terlanjur Kurang Gizi dan Rentan Stunting, Pakar Anjurkan Makan Ini Moms!

Ilustrasi ibu dan anak/parenting/bayi.
Sumber :
  • Freepik/gpointstudio

VIVA Lifestyle – Kampanye pencegahan stunting menjadi perhatian pemerintah di tahun 2023 ini melalui pemberian gizi baik yang tepat pada anak. Terlebih, para pakar pun tak menepis bahwa pemberian gizi tepat pada anak yang terlanjur kekurangan gizi hingga rentan stunting dapat memperbaiki kondisi status gizinya tersebut.

Anak Puasa Hingga Ikut Mudik? Ini 4 Tips Jaga Kesehatan Buah Hati Jelang Lebaran

Dokter spesialis anak, Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K), mengatakan bahwa setiap orangtua tentu menginginkan anaknya lahir dan tumbuh dengan sehat dan cerdas. Sayangnya, kondisi gizi anak yang kurang dari kebutuhan dapat memicu terhambatnya perkembangan, terutama kondisi otak.

"Golden period pertumbuhan otak anak itu di 2 tahun kehidupannya yang terbentuk 83 persen untuk idealnya otak manusia dewasa. Sisanya, setelah 2 sampai 5 tahun itu, dikatakan hanya (tambah) sekitar 10 persen," ujar Prof Rina, dalam acara virtual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional DR. Cipto Mangunkusumo didukung oleh Fresenius Kabi Indonesia.

Soal Program Makan Siang Gratis, Ibu Hamil dan Balita juga Perlu Dukungan untuk Cegah Stunting

Ilustrasi anak main pasir

Photo :
  • Pixabay

Setelah di atas 5 tahun, perkembangan otak anak akan jauh berkurang, hanya sekitar 7 persen. Maka, pada anak yang sudah duduk di bangku sekolah dan terbukti kekurangan gizi hingga rentan stunting, persentase otaknya tak akan terbentuk 90 persen seperti idealnya.

Bantah Aturan Makan 3 Kali Sehari, Zaidul Akbar: Di Kitab Gizi Manapun Tidak Ada Anjuran Itu

Akan tetapi, hal ini bukan berarti para orangtua tak bisa mencoba memaksimalkan perkembangan otak anak agar meningkatkan kecerdasannya. Prof Rina menyebutkan bahwa ada 3 komponen zat gizi yang sangat dibutuhkan anak untuk memaksimalkan perkembangan otaknya.

"Kita mati-matian (kejar perkembangannya) hanya tambah (persentase otak) 7 persen aja. Kalau terlanjur terjadi juga, lumayan tetap bisa nambah 7 persen. Maka untuk naikan berat badan anak ada 3 komponen zat gizi. Paling penting karbohidrat, lemak nabati, dan protein hewani," tambahnya.

Jenis lemak nabati, kata Prof Rina, terbukti membantu penyerapan lebih mudah di pencernaan anak, dibandingkan lemak hewani. Bentuk lemak nabati bisa berupa minyak kelapa sawit, margarin, hingga santan. Karbohidrat bisa berupa apapun mulai dari nasi putih, jagung, hingga umbi-umbian.

"Karbohidrat dan lemak untuk intervensi berat badannya. Kalau panjang dan kecerdasan otak, protein hewani paling bagus," terangnya.

Jenis protein hewani paling mudah adalah susu dan telur. Selain itu, bisa memilih daging ayam dan sapi serta ikan laut. Pemilihan protein hewani ini harus diimplementasikan sejak anak masih di dalam kandungan disertai kebutuhan zat besi yang tepat yang berasal dari hati ayam atau daging sapi.

Ilustrasi ibu dan anak atau parenting.

Photo :
  • Pixabay

Dalam kesempatan itu juga, Dokter Anak Konsultan Neonatologi, Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K) menjelaskan bahwa Bayi dengan kelahiran prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami tengkes atau stunting. Indonesia menempati peringkat ke–5 tertinggi angka kelahiran prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Dari 100 bayi yang lahir, terdapat 10 bayi lahir secara prematur dan 7 bayi dengan kondisi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). 

"Berdasarkan penelitian di 137 negara berkembang, 32,5 persen kasus tengkes disebabkan oleh kelahiran prematur dan 20 persen kasus tengkes di Indonesia disebabkan oleh Bayi Berat Lahir Rendah. Bayi lahir prematur berisiko untuk mengalami developmental delay, gangguan kognitif, kesulitan belajar dan gangguan perilaku," tambahnya.

Prof Rina menganjurkan agar bayi rutin diukur lingkar kepala, berat badan dan panjang badan rutin sebagai upaya deteksi dini tengkes atau stunting. Dan untuk mendatanya, orang tua dapat menggunakan aplikasi PrimaKu yang merupakan aplikasi tumbuh kembang anak di Indonesia hasil kerja sama antara IDAI dan Kementerian Kesehatan RI. 

"Dengan demikian, kita dapat segera melakukan intervensi jika ada risiko atau tanda-tanda tengkes pada bayi,” tandas Dr. Rinawati Rohsiswatmo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya