Wisata Malam di Kebun Duren Banyuwangi, Seram-seram Asyik

Kampung Duren di Banyuwangi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal

VIVA – Berwisata alam di siang hari sudah biasa. Yang beda dan luar biasa jika wisata dilakukan di malam hari dengan suasana yang ‘ndeso’ dijamin asyik.

Jayabaya Ramal Kemunculan Gempa Besar hingga Renggut Korban Jiwa, Begini Terjemahannya

Itu pula yang VIVA dan beberapa kawan rasakan saat mengunjungi Kampung Duren di Dusun Sembawur, Desa/Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, akhir pekan lalu. Semua bermula dari salah jalan. Berangkat dari kawasan Tumpang Pitu di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, rombongan berniat untuk menikmati durian.

"Kalau ke Banyuwangi tak makan durian, rugi rasanya. Di sini ada Kampung Duren di Songgon," kata seorang kawan, Ali Gonzales.

Kerusakan Iklim dan Alam Jadi Tanda Kiamat? Begini Penjelasan Al Quran dan Sains

Sore sekitar pukul 16.30 WIB, rombongan berangkat. Semuanya ada empat minibus, dan rombongan kami paling belakang. Sopir minibus memberitahu bahwa paling lama 1,5 jam sudah sampai di Songgon. Tapi rupanya mobil paling depan salah jalan. Bukannya mengambil jalan lebih dekat, justru jalan memutar yang dipilih.

Hampir dua jam berputar-putar di jalanan desa dengan rumah yang jarang-jarang, akhirnya sampai juga di Desa Songgon sekitar pukul 19.30 WIB. Satu dua warung tampak masih buka menjajakan penganan dan durian.

Mobil Pikap Sarat Muatan Terguling di Pamekasan, Belasan Orang Terkapar di Jalan

"Kita masuk jalan kaki, lokasi kebun duriannya sekitar 100 meter dari sini," ujar Ali.

Melewati gapura bambu bertulisan Kampung Duren, rombongan berjalan kaki menyusuri jalan tak beraspal. Jangan tanya lampu penerangan, kanan-kiri yang tampak bayang-bayang pepohonan, membias dari serpihan lampu rumah-rumah di kejauhan. Bayangan tentang kebun rimbun penuh pohon dan durian bergelantungan sirna sudah.

"Ada kuburan," teriak seorang kawan. Banyak di antara kami berpegangan ketakutan.

Dibantu cahaya senter telepon genggam, rombongan terus berjalan melewati jembatan, sawah dan ladang. Sesekali ada warga kampung bersepeda motor lewat dan menyapa. Jalan setapak dilalui dan di bawah pencahayaan remang-remang terlihat gapura kayu selebar 1 meter. Rombongan pun masuk.

Menyusuri jalan setapak, rombongan membelah bayang-bayang hitam pepohonan, melintasi jembatan kecil yang di bawahnya terdengar gemericik air mengalir. "Itu tempatnya, Kebun Durian Pak Likin," kata Ali menunjuk titik cahaya temaram di sela-sela ranting-ranting dan dedaunan.

Lega. Rombongan akhirnya sampai setelah hampir 30 menit menelusuri pekatnya malam. Lincak atau bangku panjang dari bambu dengan meja kayu bersandar di sebuah pohon kecil menyambut rombongan. Tiga gazebo berdiri berpencar-pencar. Di gazebo paling besar, sebuah kalimat tertulis di dinding kayu: Likin Durian Garden.

Ada juga sungai kecil atau kalen mengular dari utara ke selatan. Di ujung selatan, toilet dari anyaman bambu berdiri di atas sungai. Di situ rombongan dipersilakan si pemilik kebun jika ingin buang air kecil atau besar. Ndeso bangetlah.

Sungai itu mengalirkan air jernih dari sebuah kolam seluas kira-kira tiga kali lapangan tenis meja di sisi utara. Pemilik kebun, Solikin mengatakan bahwa kolam itu bisa dibuat mandi atau berenang, laiknya kolam renang di tempat wisata lain. Airnya jernih sekali khas pegunungan.

"Ini airnya dari tujuh sumber mata air  yang ada di sini. Kalau tahan dingin, silakan jegur (berenang)," katanya kepada VIVA.

Di samping kolam, ada tempat duduk mengelilingi meja terbuat dari beton. Nah, di situlah puluhan durian disiapkan Solikin untuk disantap. Bagi yang alergi durian, ada rambutan seikat dan ratusan manggis disediakan Solikin.

"Silakan dinikmati," ujarnya.

Durian di kebun Solikin tidak hanya durian biasa berwarna kuning, ada pula durian merah, oranye, dan pelangi. Durian berwarna di tempat Solikin bentuknya kecil-kecil, sekitar ukuran bola takraw. Bijinya juga tak seberapa besar. Jauh kesan dari durian montong yang jumbo-jumbo. Harganya lumayan, antara Rp100 ribu-Rp150 ribu per buah.

Durian berwarna di sini juga kesat. Cenderung kering. VIVA coba mencicipi durian oranye. Rasanya manis banget. Tidak begitu menyengat seperti durian pada umumnya. Mungkin kadar alkoholnya yang tak seberapa.

"Ini tidak ada namanya. Durian, begitu saja," ucap Solikin ditanya soal nama khusus untuk durian berwarnanya.

Diresmikan Pemkab Banyuwangi sebagai Kampung Duren sejak 2017 lalu, Solikin mengaku memiliki lebih dari 30 pohon durian di kebun miliknya. Dia tak pernah menjual duriannya ke luar daerah, hanya disediakan bagi pengunjung yang datang ke tempatnya.

"Kami bisa layani 1.000 durian setiap hari bagi pengunjung," ujarnya.

Soal lokasi dan suasana yang dibiarkan 'ndeso' banget, Solikin mengaku sengaja melakukannya. Dia lebih senang jalan masuk menuju kebunnya dibiarkan tanpa aspal. Tak perlu juga lampu-lampu penerang, apalagi kebanyakan pengunjung datang di siang hari.

"Biar alami. Yang kami jual memang wisata alam pedesaan," katanya.

Sehabis menyantap durian, rombongan disuguhkan makan malam dengan menu khas desa. Ada pepes tongkol, tempe, sambal terasi, rempeyek, dan lainnya. Rasa takut yang sempat dialami saat membelah gelapnya alam pedesaan pun terbayar sudah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya