Kampong Lorong Buangkok: Kepingan Kecil Singapura

Kampong Lorong Buangkok
Sumber :

VIVA –  Di tengah keramaian gedung pencakar langit yang gencar menghiasi tiap sudut Singapura, terdapat sebuah kampung tradisional masih bertahan kuat seolah ingin tetap menyisakan kepingan sejarah negeri ini. Kampong Lorong Buangkok namanya, satu-satunya kampung terakhir yang tersisa di Singapura abad 21. Meski jauh dari kata “glamor” yang melekat dengan identitas Singapura di mata dunia,  kampung ini justru menyimpan potret sisi lain yang jarang sekali ditemukan di era modern Singapura.

Berasa di Curug, Emak-emak Indonesia Gelar Tikar dan Makan Lesehan di Bandara Changi

[Unduh Itinerari Singapore #SGB disini]

Kilas Balik

10 Negara Paling Bahagia di Asia, Indonesia Peringkat Berapa?

Kampong Lorong Buangkok sendiri berdiri sejak tahun 1956 dari tanah yang dibeli oleh seorang penjual obat tradisional Tiongkok bernama Sng Teow Koon. Sudah ada enam rumah yang berdiri saat ia membeli tanah yang dulunya merupakan rawa-rawa seluas 2 hektar itu. Teow Koon pun memutuskan untuk membangun rumah keluarganya di tanah ini. Namun, karena lahan yang terlalu luas, ia mulai menyewakan tanahnya kepada para pendatang. Pada 1960, sekitar 40 keluarga menempati kampung ini.

Kampong Lorong Buangkok

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

Tanah ini kemudian diwariskan kepada empat orang anaknya. Salah satunya adalah Sng Mui Hong yang saat ini masih tinggal di Kampong Lorong Buangkok. Mui Hong juga lah yang mengurusi lahan warisan ayahnya. Para pemilik rumah yang tinggal di kampung ini tetap membayar sewa tanah perbulannya kepada Mui Hong dengan harga yang bervariasi.

Meski berada di tengah kota, dulu Kampong Lorong Buangkok sering dilanda banjir karena lokasinya yang tidak jauh dari Sungai Punggol yang langsung bermuara ke Selat Johor. Pada tahun 2006 silam, kampung ini sempat dilanda banjir yang cukup dahsyat. Para warganya pun akan sibuk menjajakan kain sarung mereka guna menerobos banjir. Hal itu pula yang akhirnya membuat Kampong Lorong Buangkok juga dikenal dengan sebutan “Selak Kain” yang diambil dari Bahasa Melayu yang artinya ‘menaiki sarung’.

[Unduh Buku Pedoman Perjalanan ke Singapore disini]

Sisi Lain Singapura

Layaknya perkampungan di Indonesia, Kampong Lorong Buangkok menawarkan suasana yang sederhana dan jauh dari kebisingan serta hiruk pikuk perkotaan. Hewan seperti ayam dan anjing berkeliaran bebas, deretan rumah berbahan kayu dengan atap seng, jalan kampung yang masih berupa bebatuan, hingga suara jangkrik yang menghiasi sunyinya malam dapat pengunjung rasakan di sini. Sayangnya, jika biasanya perkampungan lekat dengan pemandangan lahan hijau, kampung ini justru memiliki pemandangan gedung-gedung apartemen yang menjulang tinggi.

Seiring dengan perkembangan jaman, lahan Kampong Lorong Buangkok pun semakin berkurang akibat maraknya pembangunan gedung di sekitar wilayah mereka. Hal ini pun turut berdampak pada jumlah rumah dan warga yang dapat bertahan. Setidaknya, masih ada 28 rumah yang dapat dijumpai di kampung ini. Para warga yang menempati kampung ini memiliki latar belakang etnis dan agama yang beragam. Namun, mereka semua dapat saling menjaga keharmonisan satu sama lain.

Kampong Lorong Buangkok

Terdapat pula satu rumah ibadah yang berdiri di kampung ini, yaitu Surau Al-Firdaus. Tempat ini sering dijadikan oleh warga Muslim untuk melakukan akitivitas keagamaannya. Surau ini pun juga rutin menggelar shalat berjamaah, bahkan selepas shalat Maghrib dan Isya berjamaah, para warga sering meminum kopi bersama.

[Unduh Buku Pedoman Perjalanan ke Singapore disini]

Sebagai kampung terakhir yang hingga kini masih bertahan di Singapura, Kampong Lorong Buangkok tidak luput dari pemberitaan media lokal, asing, hingga para mahasiswa di sana.  Salah satu contohnya adalah mahasiswa-mahasiswa dari NTU’s School of Communication & Infromation yang membuat sebuah film dokumenter bertajuk Selak Kain The Last Kampong. Media asal Amerika, The New York Times pun ikut memuat kampung ini dalam sebuah artikel berjudul “Singapore Prepares to Gobble Up Its Last Village” pada 2009 silam.

Mencapai Tujuan

Tidak sulit untuk berjalan-jalan ke kampung yang hanya berjarak 18 kilometer dari Bandara Changi dan sekitar 4 kilometer dari pusat kota ini. Anda akan menggunakan dua moda transportasi umum untuk mencapai kampung ini, yaitu MRT dan Bus.

Pertama-tama pergilah ke stasiun MRT Ang Mo Kio. Setelah mencapai stasiun tersebut, Anda dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus 88. Kemudian Berhenti lah di Ang Mo Kio Ave 5. Lalu, Anda harus berjalan ke arah utara pedestrian Yio Chu Kang sekitar 50 meter dan belok kanan, Anda pun akan menemukan Gerald Drive. Lanjutkan perjalanan kaki Anda sejarak 200 meter lagi dan belok kanan. Selamat, Anda sudah tiba di tujuan!

[Unduh Itinerari Singapore #SGB disini]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya