Mengulik Cikini, Sejarah Indonesia yang Tersembunyi di Jakarta

Kantor Pos Indonesia, Cikini
Sumber :
  • VIVA/Willibrodus

VIVA – Cikini yang dikenal sebagai kawasan elit di masa lalu, ternyata menyimpan sejarah yang jarang diketahui banyak orang. Sejumlah bangunan dan kisah-kisah di baliknya menyimpan sejarah tersembunyi dari zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini.

Kebanyakan orang yang berwisata ke kawasan Cikini hanya mengunjungi Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun, ada beberapa tempat di kawasan tersebut yang menyimpan sejarah kental dalam perkembangan bangsa Indonesia.

Sejarah Kantor Pos Cikini

Kantor Pos Indonesia, Cikini

Photo :
  • VIVA/Willibrodus

Salah satunya adalah Kantor Pos Cikini yang telah berdiri sejak tahun 1920 dan merupakan Kantor Pos pertama di Indonesia yang beroperasi 24 jam penuh. Kantor yang dahulu dikenal dengan nama Tjikini Post Kantoor itu dibangun untuk melayani pengiriman berbagai surat dan barang.

Sebelumnya, Kantor Pos berdiri pada tahun 1746 di Batavia yang sekarang menjadi Jakarta. Kantor Pos didirikan pemerintah zaman itu untuk menjamin agar surat-surat penduduk, terutama pedagang, yang datang dari luar Pulau Jawa dan kerap berpergian keluar dan masuk Belanda tetap aman.

Kantor Pos Cikini saat ini hadir melayani masyarakat selama 24 jam. Layanan ini mulai beroperasi sejak 2014 dan menjadi kantor pos pertama di Indonesia yang melayani masyarakat selama 24 jam. Layanan ini kemudian mendapat respons positif, baik dari pelanggan perorangan maupun dari pihak perusahaan.

Sejarah Bakoel Koffe

Bakoel Koffe, Cikini.

Photo :
  • VIVA/Willibrodus

Sisi lain dari Cikini yang menyimpan sejarah yang sama adalah Bakoel Koffe. Sejarah Bakoel Koffe yang berjarak tak jauh dari Kantor Pos Cikini dimulai sejak abad ke-19, ketika seorang imigran asal Guangdong, Cina Selatan, bernama Liauw Tek Soen dan istrinya yang merupakan penduduk asli Indonesia mendirikan warung nasi di daerah Molenvliet Oost atau yang sekarang bernama Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat.

Pada saat itu, seorang pedagang wanita menawarkan biji kopi yang dibawanya menggunakan bakul kepada Tek Sun. Biasanya, kopi hanya dijual kepada saudagar Belanda untuk dinikmati kalangan atas orang-orang Belanda.

Liauw Tek Soen membeli biji kopi yang ditawarkan pedagang itu dan menjualnya di warungnya. Ternyata kopi yang dibeli Tek Sun dan istrinya itu menjadi kopi favorit di warungnya.

Pada tahun 1927, Liauw Tek Soen mendirikan pabrik kopi pertama di Weltevreden yang dinamakan Tek Soen Hoo, Eerste Weltevredensche Koffiebranderij. Dua tahun kemudian, dia menyerahkan usaha keluarga tersebut ke anaknya Liauw Tek Siong.

Para pelanggan kopi milik Tek Sun ini pun akhirnya meluas dan kemudian membuka warung kopi di Cikini yang diberi nama Bakoel Koffe. Kopi buatan Tek Sun juga akhirnya tak hanya diniknati penduduk lokal dan Tionghoa, tetapi juga orang Belanda, Arab, serta Jepang.

Tan Ek Tjoan, Sejarah Terukir dalam Sepotong Roti

Roti legendaris Tan Ek Tjoan.

Photo :
  • VIVA/Willibrodus

Tak jauh dari Kantor Pos Cikini dan Bakoel Koffe, ada pula bekas pabrik roti Tan Ek Tjoan yang didirikan sejak tahun 1921, persis setahun setelah Kantor Pos Cikini berdiri, dan merupakan salah satu merek roti tertua di Indonesia. Kala itu, roti Tan Ek Tjoan pertama menargetkan pasarnya hanya untuk orang Belanda saja dan tak memilik varian yang banyak.

Hanya roti gambang yang memiliki tekstur yang keras namun lembut di dalam. Roti gambang diproduksi untuk makanan sehari-hari warga Belanda yang ada di Bogor, Jawa Barat.

Nama gambang terinspirasi dari bilah-bilah gambang dari kesenian gambang kromong yang merupakan perpaduan budaya Betawi dan Tionghoa.

Seiring berjalannya waktu, roti tersebut semakin memperbanyak varian produknya dan akhirnya dapat dinikmati oleh semua kalangan.

Pendiri pabrik roti tersebut adalah Tan Ek Tjoan, yang namanya dijadikan merek produknya ini. Dia adalah seorang pemuda keturunan Tionghoa, yang merintis usaha ini di daerah Surya Kencana, Bogor, pada tahun 1921. Sejak saat itu, usahanya berkembang cepat, sampai kemudian merek roti ini begitu populer bagi warga Jakarta dan Bogor.

Kisah Sejarah Pada Rumah Nomor 10A di Cikini

Rumah Ibu Dibyo.

Photo :
  • VIVA/Willibrodus

Dibyo atau yang bernama asli Ida Kurnia Soedibyo dikenal sebagai ratu tiket event-event akbar di Tanah Air. Ia terjun ke dalam industri jual beli tiket dengan cara yang masih sangat konvensional, yakni menjual tiket dari pintu ke pintu.

Beliau menekuni kegiatannya ini sejak tahun 1963. Rumahnya yang terletak di Jalan Raya Cikini nomor 10A menjadi tempat untuk menjual tiket-tiket film, konser musik, tiket pertandingan sepak bola, maupun tiket event akbar lainnya di Indonesia.

Bisnis penjualan tiket Ibu Dibyo dimulai dari ketidaksengajaan. Pada tahun 1963, sang suami berencana membangun sebuah sekolah di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Sebagai upaya membantu sang suami, Dibyo kemudian membantu dengan cara menjual tiket pemutaran film di Hotel Indonesia.

Rumah milik Ibu Dibyo saat ini masih terletak di Cikini, meski tak berpenghuni. Pantauan VIVA Rabu hari ini, 15 September 2021, bangunan rumah milik Ibu Dibyo tengah direnovasi oleh beberapa tukang bangunan.

Beragam tiket event besar seperti konser hingga olahraga juga dijualnya. Pencapaian terbesar Ibu Dibyo terjadi pada 1975, saat dirinya dipercaya menjadi distributor resmi tiket konser grup disko yang terkenal pada 1970'an, yakni Boney M.

Di awal 2002, tepatnya 13 Maret 2002, Ibu Dibyo meninggal dunia. Tongkat kepemimpinan perusahaan kemudian dipegang oleh putri ketiganya, Nuska Sri Sulistiyowati.

Toko Kacamata Pertama Milik Orang Pribumi

Atjoem Kasoem, atau lebih dikenal sebagai nama A. Kasoem merupakan tokoh pengusaha dari Jawa Barat. Dia adalah orang pribumi pemilik toko kacamata pertama di Indonesia.

4 Rekomendasi Tempat Wisata Free Ramah Anak di Jakarta, Cocok Saat Libur Sekolah

Kasoem awalnya memiliki paman yang merupakan lulusan Kweekschool atau sekolah guru. Setelah ia mengikuti schakelschool (sekolah tambahan untuk mengejar kekurangan pelajaran), ia masuk Taman Siswa dan sempat bersekolah di sebuah sekolah dagang di Bandung.

Barulah kemudian ia bekerja di Bandung sebagai asisten pemilik toko kacamata (optisi) berkebangsaan Jerman, Kurt Schlosser. Karena kesungguhannya, Schlosser menyuruhnya belajar dengan tekun agar kelak dapat mewarisi usahanya itu.

Wajah Baru TMII, Pulau-Pulau di Danau Archipelago Nampak Rapi

Semasa mudanya, Kasoem menjual kacamata dari sekolah ke sekolah pada zaman Hindia Belanda. Belajar tentang bisnis kacamata dari Kurt Schlosser, Kaseom akhirnya membuka usaha kacamata pada zaman Jepang atas dukungan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa tempat Kaseom belajar.

Setelah mendalami usaha pembuatan lensa di Jerman, Kasoem kemudian mendirikan pabrik lensa bifokus di Kadungora, Garut, yang merupakan pabrik terbesar di Asia pada masanya, yang diresmikan oleh Adam Malik. Pabrik tersebut lalu tutup pada tahun 1997 karena krisis ekonomi.

Rekomendasi Wisata Anti-Mainstream di 5 Tempat Kelahiran Pahlawan Nasional

Pada masa perjuangan ia banyak membantu dan dibantu oleh tokoh-tokoh perjuangan. Kini anak dan cucunya mewarisi banyak usaha optik tokoh tersebut.

Salah satu optik milik Kasoem ini terletak di Jalan Cikini Raya. Optik miliknya itu pun tak lepas dari sejarah bangsa Indonesia.

Hasyim Ning, Raja Mobil Indonesia

Masagus Nur Muhammad Hasyim Ning atau yang lebih dikenal dengan nama Hasyim Ning, merupakan seorang pengusaha asal Minangkabau, Sumatera Barat. Lahir di tahun 1916, Hasyim Ning pernah dijuluki Raja Mobil Indonesia.

Ia merantau ke Jakarta pada tahun 1937. Tak hanya pernah merantau ke Jakarta, Hasjim Ning kemudiaj dipercaya menjabat sebagai perwakilan NV Velodrome Motorcars di Tanjung Karang, Lampung.

Lalu, Hasjim Ning membangun usahanya sendiri. Ia mulai sebagai pemborong batubara di Tanjung Enim tahun 1941.

Tak lama jadi pemborong batubara, dia lalu kembali ke pulau Jawa dan menjadi administratur di perkebunan teh dan kina di Cianjur selama masa perang.

Setelah pensiun dari tentara dengan pankat terakhir Letnan Kolonel, ia kemudia memulai usaha berdagang. Pada Revolusi Indonesia tahun 1945 hingga 1949, membuatnya jadi tentara di Jawa Barat.

Dia kemudian keluar dari tentara pada tahun 1950, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Hasyim Ning pun kembali berdagang.

Kegigihannya dalam berbisnis yang tak surut membuat Hasyim Ning membuka usaha berdgang mobil. Ia kemudian merintis Djakarta Motor Company.

Dua tahun berdagang mobil, ia lalu mengembangkan usahanya di bidang perakitan mobil. Usahanya ini diakui sebagai usaha perakitan mobil yang pertama kali ada di Indonesia. Perusahaan itu dinamakan dengan Indonesian Service Station.

Hasyim Ning kemudian mengembangkan usaha ke lini lain. Beberapa di antaranya adalah usaha ekspor-impor, kosmetik, bank, dan biro perjalanan.

Dalam bisnis ekspor impor ia melakukan ekspor dan impor mobil, bahan rakitan mobil, sampai suku cadangnya. Di bidang kosmetik, ia mendirikan pabrik kosmetik. Pendirian pabrik kosmetik dan bisnis lain yang dibangun Hasjim Ning sampai saat ini sudah mampu menyerap tak kurang dari 3.000 karyawan.

Selain menjalankan bisnisnya sendiri, Hasjim Ning juga dikenal sebagai salah seorang anggota dewan komisaris PT Jaya, Daha Motor, Jakarta Motor, Hotel Kemang, Asuransi Sriwijaya, PACTO, dan Central Commercial Bank.

Pada tahun 1981, Hasjim Ning membuat keputusan yang cukup mencengangkan dikalangan kolega bisnisnya. Hasjim Ning memutuskan untuk menjual 49 persen saham Bank Perniagaan Indonesia yang dimilikinya. Ia menjual saham tersebut kepada Mochtar Riady.

Berkaitan dengan Cikini, Hasyim Ning ternyata memiliki rumah yang terletak di Jalan Cikini Raya. Rumah ini cukup terawat dan konon pernah dijadikan sebagai tempat shooting film legendaris tanah air, yaitu Catatan Si Boy.

Sejarah Taman Ismail Marzuki

Ilustrasi Taman Ismail Marzuki (TIM).

Photo :
  • U-Report

Taman Ismail Marzuki atau TIM merupakan sebuau pusat kesenian dan kebudayaan. Acara-acara seni dan budaya dipertunjukan secara rutin di sana, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan, dan pertunjukan film.

Nama pusat kesenian dan kebudayaan ini berasal dari nama pencipta lagu terkenal Indonesia asal Jakarta, Ismail Marzuki.

Rangkaian sejarah yang dibangun Cikini mengajak kita untuk tak sekadar berangan-angan tentang kebingugan yang tak berbias. Semuanya tertulis dan bangunan yang dibalut rangkaian panjang sejarah itu masih kokoh berdiri di sana.

Cikini dapat menjadi alternatif berwisata selain Kota Tua. Sejarah Cikini sangat kental dengan perkembangan bangsa Indonesia, terutama Jakarta.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya