Sejarah Panjang Masjid Layur Semarang Berarsitektur Arab

Masjid Kampung Melayu atau Layur di Kota Semarang, Jawa Tengah
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA – Sebagai kota bersejarah di Jawa Tengah, Kota Semarang tak hanya memiliki destinasi wisata Lawang Sewu atau Kota Lama. Daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan era kolonial Belanda itu juga memiliki bangunan kuno, yang menjadi simbol agamis umat muslim pada sekitar satu abad silam. 

Libur Panjang Imlek, Intip 4 Wisata Menarik di Semarang Bernuansa Pecinan

Namanya Masjid Layur. Orang Semarang lebih mengenal dengan nama Masjid Menara Kampung Melayu. Bangunan megah yang terletak di jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara itu konon menjadi saksi bisu jejak perdagangan tertua di Semarang. 

VIVA berkesempatan melihat lebih dekat bangunan masjid tersebut ditemani oleh pengurus sekaligus imam masjid, Ali Mahsun. Tampak lebih dekat, bangunan kuno dengan daun pintu cat hijau itu nampak asli. Ornamen dinding yang menghiasi terlihat unik dengan perpaduan gaya etnis Jawa, Melayu dan Arab. 

Mau Wisata ke Kota Lama dan Lawang Sewu Semarang? Naik Kereta Cuma Rp10 Ribu

Masjid bercorak geometrik dengan hiasan warna warni itu pun masih terlihat asli. Pada Bagian kanan dan kiri masjid terdapat bangunan tua dengan ukuran besar. Di sebelah timur mengalir air kali Semarang sebagai salah satu jalur transportasi perdagangan penting di masa kolonial Belanda.

Ali menuturkan, masyarakat sekitar akrab menyebut bangunan ini dengan masjid menara. Sebab masjid ini memiliki menara yang menjulang tinggi berwarna putih sebagai tempat alat pengeras suara, penyeru saat azan berkumandang. 

Cantiknya Jembatan Kaca Tinjomoyo Semarang, Kapan Dibuka?

"Dulunya menara ini berfungsi sebagai mercusuar untuk mengawasi kapal-kapal dagang yang berlalu lalang di kali Semarang, " kata Ali kepada VIVA, Jumat, 12 Januari 2018.

Masjid Kampung Melayu atau Layur di Kota Semarang, Jawa Tengah

Ciri khas bangunan Arab

Ali menjelaskan,  menara tersebut menjadi ciri khas bangunan Arab. Menara yang berdiri di depan pintu masuk tersebut menjadi simbol kampung Melayu di Semarang. Selain itu, bentuk atapnya tidak seperti masjid lain yang menggunakan kubah. Melainkan atap tumpang susun, terdiri dari tiga lapis dengan bangunan ciri khas Jawa. 

"Sejak akhir abad ke-18, menara ini sudah tidak berfungsi. Kemudian para saudagar Arab yang berasal dari Yaman membangun masjid. Kira-kira sekitar tahun 1800-an masjid ini sudah berdiri, " ujar pria  yang sejak 2001 menjadi pengurus sekaligus Imam di Masjid Layur.

Menurut sejarah, pada sekitar tahun 1743,  kampung di sekitar masjid memang dihuni oleh orang-orang dari Yaman, Pakistan, dan Muslim India. Mereka datang untuk berdagang, kemudian menetap di Semarang dan membuat pemukiman. Sejak saat itu, Kampung Melayu ditasbihkan di tempat sekitar masjid.

Namun karena banjir rob pada tahun 1990-an orang-orang suku Melayu mulai banyak yang berpindah. Bisa dikatakan sekarang hanya segelintir orang dari suku Melayu. Selain mempengaruhi penduduk Melayu, banjir rob berdampak pada bangunan masjid. Tinggi bangunan berkurang dari awalnya setinggi panggung besar.

Akibat banjir air laut pasang itu pula, lantai masjid yang sebelumnya dibangun menggunakan kayu jati kini diganti menggunakan keramik. Selain itu, bangunan yang sebelumnya satu lantai kini dibangun dua lantai. 

Dikatakan Ali, kondisi Kali Semarang di sisi Timur kondisinya sudah tidak seperti dulu. Kali tersebut sudah tidak memungkinkan lagi untuk transportasi air yang pernah berjaya di masa kolonial. 

Masjid Kampung Melayu atau Layur di Kota Semarang, Jawa Tengah

Basis kekuatan etnis Arab dan Melayu

Yoga Fajri, peneliti sejarah di Kota Semarang,  menuturkan bahwa masjid Menara atau Layur tersebut merupakan basis utama kekuatan etnis Arab dan Melayu. Sekaligus bukti bahwa mereka pernah berjaya dalam hal bisnis di kota lumpia.

"Setelah berhasil mendirikan pemukiman sendiri, mereka merasa kurang karena belum adanya tempat ibadah. Masjid Menara ini menjadi bukti hidupnya tradisi jazirah Arab di Semarang," jelas Yogi.

Kebesaran dan majunya kultur kampung melayu, lanjut dia, pada era kolonial Belanda pernah dijadikan sebagai alat propaganda. Mereka dimanfaatkan untuk menentang pembangunan klenteng oleh etnis Tionghoa. Walaupun tidak ada pertikaian yang besar, namun aroma persaingan antar kedua etnis tersebut terasa mencekam.

"Petugas Belanda yang bermain, dengan alatnya orang etnis melayu. Setelah merasa di manfaatkan oleh kolonial. Warga kampung Melayu malah ikut membantu dalam pembangunan klenteng," ucapnya.

Setelah zaman berubah, orang etnis Melayu yang tinggal di jalan Layur sudah berkurang. Hanya segelintir orang saja. Laila (52), salah satu warga keturunan Yaman di kampung Melayu, mengaku, sejak tahun 80-an orang-orang dari Yaman, Pakistan dan muslim India mulai meninggalkan Kampung Melayu.

"Keluarga saya pindah ke sini tahun 1940. Dulu masih banyak orang Arabnya. karena banjir rob sejak tahun 80-an sudah melanda kawasan kampung Melayu, akhirnya beberapa pindah. Sekarang yang tinggal tak lebih dari 50 orang"ujar Laila.

Masjid Kampung Melayu atau Layur di Kota Semarang, Jawa Tengah

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya