Ironi Darurat Korupsi di Daerah

Petugas membersihkan logo Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Angka kasus korupsi yang menjerat kepala daerah makin meningkat. Dalam rentan waktu 33 hari di awal tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan lima kepala daerah menjadi tersangka. Sebagian diantaranya bahkan diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan.

KPK Minim OTT, Alex Marwata: Banyak Pejabat Negara Sudah Tahu HP Disadap

Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Abdul Latif merupakan kepala daerah pertama yang dicokok KPK pada Kamis, 4 Januari 2018. Abdul tersangkut kasus dugaan suap terkait pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Damanhuri tahun anggaran 2017.

KPK kemudian menetapkan status tersangka terhadap Bupati Kebumen, M. Yahya Fuad pada 22 Januari 2018. Yahya dijerat terkait dugaan kasus menerima gratifikasi. Tak lama kemudian Bupati Halmahera Timur, Rudi Erawan yang menjadi pesakitan pasca ditetapkan sebagai tersangka pada 31 Agustus 2018.

Nurul Ghufron: KPK Bukan Ingin Meninggalkan OTT, tapi Pencegahan Lebih Beradab

Lima hari lalu giliran Gubernur Jambi, Zumi Zola yang mendapat status tersangka. Mantan aktor ini menjadi tersangka dugaan suap proyek-proyek di Jambi. Selanjutnya, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang mendapat rompi oranye. Kader Golkar ini dicokok KPK dalam operasi tangkap tangan pada Sabtu, 3 Februari 2018.

Catatan ini menjadi ironi. Deretan kepala daerah dengan status tersangka tersebut menambah daftar panjang kelam kasus korupsi. Tingginya angka korupsi kepala daerah disinyalir juga karena ongkos politik yang mahal.

Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Penuhi Panggilan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi menganalisis mahalnya biaya politik menjadi salah satu faktor penyebab kepala daerah tersangkut kasus hukum. Ongkos politik yang tinggi membuat pilihan kepala daerah untuk berbuat 'curang'. Hal ini mengacu fakta-fakta persidangan kasus korupsi dengan kepala daerah yang sudah berstatus terdakwa.

"Analisis KPK dari potongan-potongan informasi yang diperoleh menunjukkan di banyak tempat seperti itu. KPK pada fakta-fakta persidangan baru berhasil membawa beberapa pelaku ke pengadilan," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, saat dikonfirmasi, Selasa 6 Februari 2018.

Ruangan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko disegel KPK.

Foto: Ruang kerja Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko disegel KPK. ANTARA

Tertangkapnya Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko memperkuat analisis tersebut. Status Nyono merupakan petahana yang akan maju kembali dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Jombang, pada 27 Juni 2018.

Nyono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait perizinan pengurusan jabatan di Pemkab Jombang. Ia diduga menerima uang suap dari pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyanti. Uang suap dari Inna berasal dari dana kapitasi kesehatan 34 puskesmas di Jombang.

Penyakit Transaksi Politik

Peringatan kembali disuarakan KPK. Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarief mengingatkan agar calon kepala daerah yang berstatus petahana di Pilkada 2018 tak berurusan dengan penerimaan hadiah dalam bentuk apapun.

Pemerimaan hadiah itu masuk kategori suap yang berujung pada kasus korupsi atau gratifikasi.

"Kami sudah cukup sering mengingatkan kepala daerah incumbent, kalau ada penerimaan-penerimaan itu bisa berujung pada kasus korupsi atau gratifikasi," kata Laode, di kantor KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Minggu, 4 Februari 2018.

Ilustrasi demo korupsi proyek e-KTP Ilustrasi aksi unjuk rasa terkait korupsi. ANTARA

Peneliti sekaligus Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril mengatakan maraknya kepala daerah terjerat hukum karena pola politik kekuasaan yang keliru. Ongkos politik yang mahal memicu potensi transaksi.

"Cost mahar politik sekarang tinggi semakin memperpanjang tingkat korupsi kepala daerah yang mengembalikan modal. Ini jadi penyakit transaksi politik," ujar Oce saat dihubungi VIVA, Selasa, 6 Februari 2018

Modal besar yang dikeluarkan saat kampanye tak sebanding dengan pendapatan murni seorang calon kepala daerah bila terpilih. Hal ini membuat pola kecenderungan kepala daerah yang ingin 'balik modal' dengan melakukan aksi culas. Menjelang pilkada, momentum korupsi dinilainya berpotensi terjadi.

"Bagaimana dugaan memainkan APBD, dana bantuan sosial, suap pengusaha untuk proyek. Nah, ini yang dikhawatirkan jadi penyakit," tutur Oce.

Introspeksi Parpol

Maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi harus dipikirkan solusinya. Di satu sisi, partai politik sebagai pihak yang penting harus punya komitmen dalam mengusung calon kepala daerah.

Setidaknya ada komitmen parpol dengan punya fokus program menghasilkan kader berkualitas yang layak menjadi kepala daerah.

"Komitmen anti korupsi itu bisa seperti itu. Konsekuensi jadi kepala daerah harus kuat komitmennya. Di sini parpol juga harus introspeksi," tutur Oce.

Namun, diakui Oce tak bisa mengandalkan dari peran parpol. Pendekatan sistem politik harus diubah dengan melibatkan pihak terkait termasuk pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu dalam membuat regulasi yang baru.

"Tidak ada resep tunggal. Karena mengatasi ini perlu aspek seperti pendekatan sistem politik yang harus diubah," kata Oce.

Baca Juga: Daftar Kepala Daerah yang Tersangkut Kasus di KPK

Saran dari Komisi II DPR dengan adanya aturan penertiban pendanaan kampanye. Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menekankan dalam aturan pendanaan ini bisa koordinasi pemerintah, DPR dengan lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.

"Bagaimana membuat aturan dalam batasan saat kampanye agar tak memunculkan cost politik terlalu tinggi," jelas Riza Patria saat dikonfirmasi, Selasa, 6 Februari 2018.

Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko

Foto: Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko

Aturan sanksi tegas

Riza tak menampik tingginya biaya politik di Tanah Air punya kaitan dengan maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah. Hal ini berat bila memang tak ada solusi disertai aturan tegas. Aturan tegas yang bisa diberlakukan dengan memberikan kewenangan lebih terhadap lembaga seperti Bawaslu.

"Misalnya Bawaslu punya kewenangan batalkan tahapan calon kepala daerah bila terbukti melakukan suap seperti mahar politik," kata Riza.

Baca Juga: Mendagri: Sudah 77 Kepala Daerah Ditangkap KPK

Hal senada disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan. Bagi dia, memang parpol punya peranan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas untuk bisa memimpin. Namun, menurutnya sulit berharap lebih dengan sistem politik seperti sekarang yang menghabiskan cost politik tinggi.

"Memang kewajiban kami dan itu jadi introspeksi. Tapi, demokrasi di negara kita besar. Luar biasa tinggi costnya. Ini yang harus dirembukin bersama. Enggak bisa itu parpol sendiri atau pemerintah saja," kata Zulkifli.

Dia mencontohkan, pendapatan kepala daerah seperti bupati yang tak terlalu besar namun harus mengeluarkan cost tinggi saat kampanye. Meski mungkin dibantu parpol pendukung namun tak bisa dipersepsikan dengan mudah mendapatkan dana kampanye.

"Taruhlah gaji bupati petahana itu Rp6 sampai Rp7 juta. Bagaimana bayar saksi, pamflet, spanduk saat kampanye sampai pemungutan suara. Enggak bakal cukup itu pendapatan," tutur Zulkifli.

Meski memperlihatkan angka korupsi yang melonjak, sejauh ini belum ada jumlah resmi kepala daerah yang menjadi tersangka.

Dari keterangan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 18 September 2017, sudah 77 kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK lewat operasi tangkap tangan KPK. Sementara, lebih dari 300 kepala daerah yang bermasalah dengan hukum.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya